Geisha kental dengan unsur seni. Untuk menjadi seorang geisha sangatlah tidak mudah, perlu kerja keras dan latihan berat. Ada tahap yang harus dilalui mereka yang ingin menjadi geisha, yaitu menjadi asisten dan berlatih untuk menjadi maiko, atau geisha yang masih magang. Kisah seorang gadis belasan tahun untuk menjadi geisha diceritakan dalam drama musikal berjudul "Lady Maiko".
"Lady Maiko" berkisah tentang kondisi sebuah tempat geisha di Kyoto. Kota ini dikenal sebagai pusat dunia geisha. Diceritakan pengelola tempat tersebut mulai dilanda rasa cemas karena mereka belum menemukan anak-anak muda yang tertarik untuk menimba ilmu sebagai geisha. Hanya ada satu maiko di tempat mereka, padahal usianya sudah akhir 20-an. Ia tak bisa debut sebagai geisha karena belum ada maiko penggantinya. Harus ada minimal satu maiko di tiap distrik.
Maiko adalah mereka yang masih menjalani training sebelum debut sebagai geisha. Ia biasanya berusia 20 tahunan, belum terlalu menguasai kemampuan berbicara, kimononya penuh warna, dan tariannya lebih berjiwa muda.
Ada satu gadis muda usia belasan tahun yang mendatangi tempat tersebut. Namanya Haruko Saigo (Mone Kamishiraishi). Ia yatim piatu dan dibesarkan oleh sang nenek di Kagoshima. Ia tertarik untuk menjadi maiko.
Tapi niatnya terhenti karena dialeknya dianggap jauh dari dialek khas Kyoto. Ia pun diminta pulang ke kota asalnya oleh sang pemilik, Chiharu (Sumiko Fuji). Namun, seorang profesor linguistik, Kyono (Hiroki Hasegawa) tertarik mengajari dialek khas Kyoto dan seni percakapan. Ia memiliki metode unik untuk mengajari si gadis tersebut.
Berhasilkan Haruko menjadi seorang maiko?
Film berdurasi dua jam lebih ini langsung menarik perhatian berkat poster filmnya. Dalam poster film yang dirilis tahun 2014 ini ada gadis muda dengan kimono berwarna merah yang nampak imut dan menyenangkan.
Pada tahun-tahun yang lalu ada kisah "Memoirs of Geisha" yang menggambarkan dunia geisha secara serius, yakni sebelum dan setelah masa perang dunia kedua. Sementara "Lady Maiko", ceritanya berlatar masa sekarang, jaman modern, ketika pesona dan kepopuleran geisha mulai pudar di kalangan generasi muda.
Di dalam film ini yang menonjol adalah peran geisha sebagai pekerja seni. Mereka dididik dengan keras, bahkan sebelum debut sebagai maiko, untuk berlatih banyak hal, dari menari, bernyanyi, berakting, seni percakapan, tata bahasa, menjamu tamu, mengenakan kimono, melakukan upacara minum teh, dan masih banyak lagi.
Geisha dikisahkan mulai kehilangan daya tariknya. Ini terlihat bagaimana generasi tua yang berkecimpung di dunia geisha mulai resah dengan kelestarian kesenian ini. Aku membayangkan hal ini serupa dengan yang dialami oleh pelaku seni tradisional di Indonesia yang juga was-was apabila tak ada regenerasi.
Meski pesannya sebenarnya serius, namun film ini dikemas dengan ringan dan menyenangkan. Mone sebagai Haruko menjadi tumpuan cerita dan berhasil membawakan perannya dengan baik.