Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Meminimalkan "Overfishing" agar Sumber Daya Bahari Tetap Lestari

13 November 2020   23:31 Diperbarui: 13 November 2020   23:37 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan dan ikan (dokpri)

Aku suka sekali bila diajak ke tempat pelelangan ikan atau tempat lapak ikan ketika masih kecil. Memang agak bau amis, tapi aku menyukai melihat ikan-ikan beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Tapi setelah dewasa, perasaan itu berubah. Ketika melihat ada sejumlah banyak ikan dijajar masih hidup dengan es batu, aku merasa trenyuh. Kadang-kadang ada perasaan bersalah aku menyantap mereka.  Tapi yang lebih menguatirkanku bila ikan itu tak laku, lalu terbuang sia-sia.

Ikan, cumi-cumi, kerang, dan makhluk air lainnya adalah makhluk hidup. Memang manusia memerlukan mereka untuk dimakan karena kaya akan  kandungan protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ikan juga enak disantap. 

Jika melihat begitu banyaknya ikan yang ditangkap setiap harinya, sering kali hatiku mencelos. Benarkah manusia memerlukan ikan sebegitu banyaknya. Apakah memang jumlah ikan-ikan tersebut di lautan dan perairan lainnya masih banyak dan bakal selalu ada penggantinya? 

Bagaimana jika suatu saat ikan habis karena overfishing atau penangkapan berlebihan?

Dulu aku suka menonton film dokumenter di TVRI. Tapi mereka kemudian lebih suka memutar dokumenter tentang kapal-kapal yang menangkap ikan, lobster, atau kepiting dengan jumlah yang begitu banyaknya. Aku tak senang dan malah ingin menangis. Begitu banyaknya, berton-ton, bagaimana jika kemudian hewan-hewan laut itu lenyap?

Ketika aku membaca teknologi kelautan, hal tersebut yaitu overfishing telah menjadi perhatian sejak lama. Hal tersebut memang dikuatirkan. Sumber daya laut harus tetap terjaga kelestariannya. Untuk itu ada peraturan mengenai alat untuk menangkap, usia atau ukuran ikan, dan sebagainya.  Juga ada teknologi yang telah dikembangkan, seperti vessel monitoring system atau sistem pemantauan kapal penangkap ikan yang berbasis satelit. Dengan sistem ini kapal yang telah mendapat ijin menangkap ikan akan diawasi pergerakannya. Ada juga sistem untuk memantau data hasil penangkapan ikan di pelabuhan.

Di kalangan nelayan tradisional, seperti di Ambon juga ditegakkan kearifan lokal, misalnya aturan buka tutup menangkap gurita. Setiap nelayan didata, lokasi penangkapannya juga ditentukan, dan usia atau ukuran gurita yang boleh ditangkap juga diatur. Tujuannya yaitu agar sumber daya lautan berkelanjutan. Jika gurita habis yang rugi ya nelayannya sendiri.

Tapi sayangnya kemudian aturan penjualan bayi lobster dicabut, padahal aturan ini penting untuk kelestarian lobster di nusantara. Kemudian masih ada kapal tak berijin yang menangkap ikan. Ya sistem pengawasan masih perlu ditegakkan.

Untuk makanan ada proyeksi kebutuhan beras dan sebagainya, mungkin nanti juga ada sistem untuk memproyeksikan kebutuhan ikan dan kawan-kawannya, juga ada mesin pendingin di kalangan nelayan dan teknologi pengolahan ikan dan sampahnya (misalnya durinya dan sisiknya) sehingga meminimalkan ikan-ikan yang ditangkap dan lalu sia-sia. 

Semoga sumber daya bahari kita lestari hingga generasi-generasi berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun