Pagi ini aku terkejut mendapati belahan jiwaku sedang memberi makan kucing dan ia berkata juga memberi makan si belang. "Beri makanan si belang di luar? Di kandang?" Aku memastikan kata-katanya.
"Nggak, ia di dalam rumah. Tuh dia di sana!" ujarnya menunjuk si belang.
Seperti tahu dirinya yang dibahas, ia berjalan mendekat. Tatapan matanya ditujukan kepadaku. Aku merasa was-was. Aku merasa tak enak.
Aku yakin kandang ini kukunci rapat di kedua sisi, pintu sisi atas dan samping. Bagaimana ia ke luar dari sana?
Kucing belang itu kucing betina dengan warna cokelat dan hitam. Ia sudah sekitar dua tahun ini suka singgah ke rumah.
Aku tak pernah suka ke kucing tersebut. Ia nakal. Sungguh nakal. Mencuri makanan dan kadang-kadang buang kotoran sembarangan.
Tapi yang paling mengesalkanku ulahnya terhadap bayi-bayinya. Ia sudah keempat kalinya melahirkan anak. Dan semuanya tewas mengenaskan. Ia langsung meninggalkan anak-anaknya, tak dijilatinya tak dipotong tali pusarnya, dan tak diminuminya susu.
Kali pertama aku mengira dia mengalami blue syndrome. Rasa takut jadi induk. Kubantu ia merawat anaknya dengan kucoba memberi makanan pengganti air susu induk kucing. Tapi aku tak berhasil. Bayi kucing itu meninggal berhari-hari kemudian.
Tiga kelahiran kemudian makin mengenaskan. Ada yang posisinya dijepit oleh badannya hingga bayinya tak bisa bernafas. Ada juga yang mayat si bayi kucing berjatuhan dari atap. Aku tak habis pikir. Padahal kusiapkan kardus besar beralas untuknya.
Sejak itu aku merasa sebal dan was-was terhadap si kucing belang itu. Ia kucing yang jahat.
Tak ada yang mau jadi temannya. Kidut dan Cipung menjauhinya. Ia juga jahat ke kucing kecil dan suka iri kepada induk kucing bernama Mungil. Bahkan Nero pun juga tak suka berdekatan dengannya.