Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cerita Horor dengan Bahasa Daerah Lebih Mengigit Seramnya

2 November 2020   23:55 Diperbarui: 3 November 2020   00:02 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalian gemarkah membaca kisah horor?(dok. Pixabay)


Sebelum "KKN Desa Penari" hits, sebenarnya sudah ada beberapa utas di Twitter yang membahas tentang cerita-cerita horor dengan menyelipkan dialog berbahasa daerah. Kemudian dengan makin populernya "KKN Desa Penari", maka semakin banyak yang menggunakan formula serupa, membubuhkan bahasa daerah dan unsur lokal di kisah yang mereka sampaikan.

Tak hanya menggunakan bahasa Jawa dan unsur-unsur Jawa yang umumnya digunakan oleh para pencerita di Twitter dan platform media sosial lainnya. Ada pula yang menambahkan bahasa Sunda, bahasa daerah di Kalimantan, dan juga bahasa Bali.

Unsur kelokalannya pun juga dimasukkan di sana. Jika latarnya Jawa Tengah dan Jawa Timur maka unsur kesenian dan keseharian seperti rumah joglo, tari-tarian daerah setempat, dan cara memanggil saudara laki-laki ayah juga ditambahkan ke dalam cerita sehingga pembaca pun tergiring sedang memasuki alam Jawa.

Begitu pula halnya dengan cerita yang berlatar Sunda, Kalimantan, dan Bali. Ada musik khas Sunda, unsur ritual Dayak, dan ritual leak yang ternyata menarik sekaligus menyeramkan, dan lain sebagainya yang diimbuhkan ke dalam cerita.

Adanya penggunaan bahasa daerah dan unsur kelokalan ini membuat pembaca lebih mudah diyakinkan seolah-olah yang disampaikan oleh pencerita adalah kisah yang benar-benar nyata. Alhasil nuansa horornya pun jadi terasa lebih menggigit dan lebih kental.

Selain lebih berhasil membangun atmosfer yang seram, adanya penggunaan bahasa daerah dan unsur kelokalan ini ikut membantu mengenalkan kearifan lokal. Para pembaca yang berasal dari daerah yang berbeda akan tertarik untuk mengenal kesenian dan kultur masyarakat yang tersaji di cerita. 

Tapi tentunya si pencerita juga harus menambahkan terjemahannya tepat setelah dialog bahasa daerah tersebut, agar pembaca yang berbeda daerah dapat mengikuti ceritanya dengan baik. Unsur penempatan dan ketepatan penerjemahan ini sangat penting, karena jika pencerita lalai maka ceritanya jadi gagal dinikmati oleh mereka yang non daerahnya.

Ya, setidaknya cerita horor tersebut bukan hanya berhasil menakut-nakuti, melainkan juga mengenalkan dan merawat budaya daerah. Terlepas dari budaya tersebut saat ini masih relevan atau tidak, baik ataupun buruk.

Omong-omong Kalian gemarkah membaca kisah horor?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun