"Bawah pohon tadi sudah kugali. Kain putihnya sudah kusiapkan. Jangan lupa anak kucingnya segera dimakamkan," pasangan memberikan pesan.
Jadinya siang-siang selepas waktunya sholat Jumat aku memakamkan anak kucing. Sudah beberapa kali ini aku melakukan pemakaman kucing. Kebiasaan yang kuteladani dari pasangan.
Kata ia semua makhluk hidup perlu dihargai. Mereka makhluk ciptaan Tuhan.
Setiap ada kucing yang mati, ia pun mengingatkanku untuk segera menyiapkan kain putih bersih sebagai kafan si kucing almarhum. Ya kadang-kadang tak kujumpai kain putih, akhirnya kaus-kaus lama berwarna putih yang masih bersih pun kupotong.
Mulailah aku menggali liang kubur. Jika suami tidak buru-buru ke kantor, ia yang melakukannya. Menggali, memintaku menaruh jenazah kucing yang sudah dikafani, dan menguruknya. Tapi tugas itu kemudian beberapa kali kulakukan.
Pekerjaan menggali paling tidak mudah. Ia harus cukup dalam agar tidak diganggu oleh aktivitas kucing-kucing liar.
Siang ini ketika aku menaruh anak kucing di liang kubur dan menguruknya, aku merasa bersalah. Kucing itu hadir sekonyong-konyong. Ia tak berinduk. Matanya buta karena pilek parah. Ia tak bisa minum sendiri dan tak bisa makan sama sekali.
Kucoba menjadi induk angkatnya selama beberapa hari ini. Kubersihkan wajahnya, tapi sia-sia. Mata itu sudah tertutup. Ia hanya bisa minum dan tak bisa mengunyah atau menelan makanan halus yang kusodorkan.
Akhirnya ia hanya mengonsumsi air, susu, dan vitamin. Ia tak bertahan. Aku kasihan melihatnya. Dalam hari kubertanya-tanya, apakah induknya tewas atau anak kucing itu dipisahkan dari induknya?
Semalaman kudengar suara meongan lagi. Suara anak kucing. Dan memang benar dugaanku. Ada lagi saudara si anak kucing itu. Kondisinya sama.
Siapa yang menaruh anak-anak kucing itu di halamanku? Bukan apa-apa, aku tak sanggup merawat mereka dan halamanku pun sebenarnya bukan tempat pembuangan kucing.