Film "Kim Ji-yeong" yang diputar akhir tahun lalu menuai sukses dan banyak diperbincangkan. Film ini diangkat dari sebuah novel yang disebut mendulang kontroversi karena temanya yang dianggap memperjuangkan feminisme. Padahal jika ditonton dan dibaca baik-baik, gambaran cerita Kim Ji-yeong banyak dialami oleh kaum hawa, termasuk kaum perempuan di Indonesia. Masih banyak di dalam kehidupan nyata  ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan yang diperkuat oleh budaya patriarki.  Berikut ulasanku usai membaca novel karya Cho Nam-Joo.
Dikisahkan Kim Ji-yeong lahir pada April 1982. Pada saat ia lahir ibunya menangis dan meminta maaf kepad ibu mertuanya karena anak keduanya juga perempuan. Ketika adik laki-lakinya lahir lima tahun kemudian, ia mulai paham adanya perbedaan perlakuan. Adiknya bebas tugas dari pekerjaan rutin di rumah, ia juga mengambil makanan lebih dulu darinya dan kakak perempuannya.
Di sekolah ia melihat teman laki-lakinya mendapat prioritas, dapat giliran makan siang lebih dulu. Di universitas, mahasiswa laki-laki direkomendasikan pihak kampus untuk magang.
Kim Ji-yeong menangis ketika ayahnya memarahinya. Ia ketakutan ketika sepulang dari tempat kursus diikuti seorang siswa laki-laki. Bukannya menenangkan dirinya yang ketakutan, ayahnya malah memarahinya, ia dianggap mengenakan baju yang kurang pantas dan ia dianggap salah karena memilih tempat kursus yang jauh dari rumah.
Ketika menikah dan punya anak, ia disarankan untuk ke luar dari pekerjaan. Ketika anaknya perempuan, ia 'dianggap' gagal. Di rumah mertuanya ketika hari raya, Â ia terus bekerja, memasak dan memasak, sementara suami dan saudara-saudaranya bisa bersenda-gurau. Kim kemudian melontarkan kalimat yang membuat semuanya terkejut. Kim berubah.
Cerita yang Apa Adanya
Cerita Kim Ji-yeong ini tidak seperti novel pada umumnya. Ia seperti cerita biografi meskipun si penulis, Cho Nam-Joo berkata bahwa ini adalah cerita fiksi yang terinspirasi dari hal-hal yang dialami kaum wanita di sekelilingnya, termasuk dirinya.
Cerita di awal berlatar tahun 2015 ketika gejala depresi Kim mulai nampak. Kemudian cerita mengalami flashback, berawal dari Kim yang lahir hingga masuk kerja dan kemudian menikah. Cerita tetap menggunakan sudut pandang ketiga. Sesekali cerita berpusat pada kakak Kim Ji-yeong dan juga ibunya. Keduanya juga mengalami perlakuan 'diskriminatif' dan kemudian melakukan 'perlawanan' semampunya.
Bahasanya mengalir dan lugas. Tidak banyak bunga-bunga cerita. Ia hanya berfokus pada hal-hal yang dialami Kim dan situasi perempuan pada masa itu. Sesekali ditambahkan footnote dari referensi berupa buku, artikel, statistik, dan sebagainya.
Dari cerita Kim, meskipun si penulis tidak berupaya mendramatisirnya, pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang dialami oleh Kim. Pemicu perubahan sikapnya sebenarnya tidak sekonyong-konyong muncul. Â Ia buah dari sejumlah perlakuan dan pengalaman yang dialami Kim Ji-yeong seumur hidupnya.
Kim Ji-yeong Bagian dari Semua Perempuan di Dunia