Awal Januari dengan nada penuh suka cita aku memberitahu rekan kerja yang duduk di sebelah. Tiket pesawat pulang pergi ke Malang untuk mudik lebaran bulan Mei sudah di tangan. Tiga bulan kemudian dengan gamang aku mengembalikan dua tiket pulang pergi tersebut karena adanya larangan ke kampung halaman.
Tahun ini seharusnya giliran aku pulang ke kampung halamanku. Sejak menikah, kami melakukan kompromi dengan mudik secara bergantian, ke Subang - kampung halaman suami - dan ke Malang. Apabila pada tahun tersebut mudik ke Subang maka biasanya pada bulan-bulan yang low season sekitar September hingga November kami pun pulang ke Malang.
Tahun ini seharusnya aku berlebaran ke Malang. Pada awal tahun aku sudah menyusun rencana selama liburan mendatang ke Malang. Pastinya menyenangkan kumpul beramai-ramai di Malang. Kakak perempuan juga akan merayakan lebaran hari pertama di Malang. Kakak laki-laki juga berencana pulang dari studinya di Austria. Sudah beberapa tahun sejak kakak kedua melanjutkan kuliah kami jarang kompak berlebaran bersama. Kakak perempuan juga kadang-kadang merayakan hari pertama lebaran di rumah mertua.
Tapi rencana tinggal rencana. Pandemi menggagalkan rencana. Kakak laki-laki pun tak bisa pulang. Ia tertahan di sana. Ia beribadah Ramadan sendirian dan jauh dari keluarga. Sementara aku kehilangan dua tiket PP ke Malang minus biaya administasi per tiket. Uang pengembalian tiket pun hingga sekarang juga belum kuterima.
Persiapan untuk Mudik Daring
Oleh karena tiap tahun aku tak selalu mudik ke Malang, maka aku tak begitu sedih. Setidaknya jika pandemi ini berakhir, aku bisa ambil cuti ke Malang beberapa hari. Bukan sebuah masalah besar. Sedih si iya tapi berkumpul bersama keluarga sebenarnya bisa dilakukan kapan saja asal ada waktu yang pas dan dana.
Tiap dua tahun sekali aku mengalami masa-masa ini, tidak bisa berkumpul dengan ayah dan ibu merayakan lebaran. Â Aku pun melakukan mudik daring alias bermaafan lewat jalur udara atau via internet. Biasanya ada beberapa hal yang kulakukan untuk menyiapkan musik daring.
Yang pertama tentunya jangan bersedih, tak perlu merasa begitu nelangsa. Anggap saja ini sebagai masa penundaan. Tahun depan InsyaAllah kami bisa kembali berlebaran bersama, aku dan kedua kakak akan sama-sama ke Malang. Saat berkumpul bersama maka kami bisa kembali bertiga berpura-pura seolah-olah ke masa kecil, seperti masa-masa sebelum kami satu-persatu pindah dari kota yang membesarkan kami.
Bekal kedua adalah tetap bergembira. Kami hanya tidak bisa mudik. Itu saja. Kami baik-baik saja. Kami bisa tetap bertelponan tiap minggu dengan orang tua. Kami juga bisa setiap hari menyapa saudara, paman dan bibi lewat grup percakapan keluarga, meski memang bertemu langsung akan lebih menyenangkan.
Bekal ketiga dan tak kalah penting adalah menyiapkan pulsa telepon yang cukup. Tigaratus ribu sepertinya cukup untuk bekal teleponan dan internetan. Sambil tentunya berdoa agar jaringan telepon dan internet stabil dan lancar.Â
Kami bisa ber-video call dengan keluarga kakak di Cikarang, ber-video call bersama kakak di Austria, dan keponakan kami di Malang. Untuk Ayah dan ibu karena tidak terbiasa dengan video call, kami bisa bermaaafan dan saling bercerita lewat telepon. Bercerita apa saja.
Tidak bisa mudik bukan berarti akhir segalanya. Hanya masalah penundaan. Sekarang yang lebih penting untuk tetap jaga kesehatan, jaga jarak dan ke luar rumah seperlunya, agar pandemi segera berakhir dan kehidupan kembali berjalan normal seperti sebelumnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI