Hari ini sepi seperti beberapa hari yang lalu. Tak ada pedagang makanan keliling, tukang sayur, dan pemulung yang berlalu lalang di jalan-jalan kawasan tempat tinggalku. Rasanya ada yang kurang genap.
Minggu malam, 22 Maret, kami memanggil penjual sate keliling. Ia tidak mendorong gerobak seperti penjual sate di Malang pada umumnya. Ia memikul dagangannya dan kemudian berjalan kaki berkeliling dari tiap gang ke gang, tiap jalan ke jalan lainnya menawarkan dagangannya.
Ia bercerita sejak pandemi itu hadir dagangannya makin sepi. Orang-orang takut ke luar rumah.
Ia pastinya bakal makin sedih ketika Senin pagi keesokan harinya kami tiba-tiba mendapatkan pengumuma jalan kompleks ditutup dari semua orang luar, baik pedagang keliling, pemulung, ojek daring dan pengantar paket. Semua paket dan makanan pesanan ditaruh di pos satpam yang berada tak jauh dari gerbang di depan.
Aku terkejut. Informasi itu begitu mendadak dan tak diinfokan ke warga dulu sebelumnya.
Kami menjalani isolasi lokal. Kuhitung 13 hari kami tak mendengar suara tek te nasi goreng yang khas. Tak ada bunyi nyaring tee..saa..tee menawarkan sate ayamnya. Tidak ada penjual jagung manis dengan musiknya yang cerita. Juga tak ada tahu mentah yang masih hangat buatan rumahan.
Kucing-kucingku merindukan penjual ikan dan ayam. Biasanya setiap kali mendengar seruannya kucing-kucingku segera lari melewati pagar menyambutnya, meskipun kadang-kadang aku tak membelinya.
Jalanan gang rumahku terasa sepi. Aku bertanya-tanya bagaimana kabar mereka. Apakah mereka bisa makan cukup dan beristirahat nyenyak dengan penghasilannya yang menurun.
Aku berharap kondisi ini segera berubah, kembali seperti dulu atau malah lebih baik. Dan aku berdoa dan berharap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H