Imlek sebentar lagi tiba. Hawa menjelang imlek mulai terasa. Dulu kata orang tua, jelang Imlek biasanya angin mulai bertiup lebih kencang, biasanya juga disertai dengan hujan. Meskipun tak merayakan, aku suka kehadiran Imlek. Biasanya jelang Imlek dan saat perayaan Imlek bakal banyak yang menjual kue keranjang yang legit dan nikmat.
Dulu Imlek dilarang dirayakan pada masa pemerintahan Soeharto. Baru setelah era Gus Dur Inpres larangan itu dicabut. Tapi di Malang ada tidaknya larangan, tetangga-tetangga kami yang keturunan Tionghoa tetap merayakannya, dengan membagikan kue keranjang dan kadang-kadang juga ada pertunjukan barongsay di dekat tempat tinggal. Kami yang tak merayakannya pun juga ikut senang. Baru setelah era Gus Dur perayaan Imlek lebih semarak dan dilakukan terang-terangan.
Yang membekas dari kenangan masa kecil tentang Imlek adalah kue keranjang. Oleh karena ayah dianggap tetua kampung maka kami mendapat kiriman kue keranjang. Kemudian kami kadang-kadang juga mendapatkan lontong cap go meh yang seperti lontong plus opor sekitar dua minggu setelah perayaan Imlek. Â Ketika tetangga yang merayakan Imlek pindah rumah, ayah pun membeli sendiri kue keranjang.
Saat dewasa aku baru tahu jika kue keranjang ini oleh mereka yang merayakan Imlek tidak dimakan langsung. Kue ini baru dimakan pada saat perayaan Cap Go Meh, sekitar 15-20 hari setelah perayaan Imlek.
Kue keranjang alias dodol China itu memiliki permukaan berwarna kecokelatan yang licin. Bentuknya bundar. Ketika diiris maka teksturnya lebih padat, tidak seperti jenang Jawa yang lebih lembek. Rasanya tidak terlalu manis, agak lengket, dan khas. Ketika kue keranjang sudah dibuka dari pembungkusnya maka ia pun kemudian mengeras.
Dodol ini berbahan utama tepung ketan dan gula. Dengan komposisi yang tepat dan pengolahan yang seksama maka akan menghasilkan kue keranjang yang enak dan bisa tahan beberapa bulan.
Aku suka menyantapnya langsung. Kalau ayah lebih suka digoreng dengan sedikit tepung. Ibu juga pernah menyajikannya dengan dikukus agar lebih empuk. Kue keranjang kukus itu kemudian disajikan dengan kelapa muda parut. Enak juga.
Ketika telah merantau, kadang-kadang aku kangen dengan kue keranjang ini dan mencarinya di toko swalayan atau di toko kue. Jika beruntung aku akan mendapat kue keranjang yang tekstur dan rasanya pas, seperti yang biasa dibeli oleh ayah.
Bersantap kue keranjang dengan kopi hitam agak pahit atau teh hangat di rumah akan terasa menggigit. Apalagi jika diiringi hujan gerimis  yang membuat suasana makin dramatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H