Berwisata mengeksplorasi gua ternyata sama menyenangkannya dengan berwisata ke obyek alam lainnya. Keringat pun bercucuran karena hawa yang lembab dan oksigen yang kurang menjadi tantangan, belum lagi medan yang menurun dan agak terjal. Ini yang kualami pada Sabtu ini (14/12) bersama keenam kompasianer mengikuti Jelajah Koteka Mengeksplorasi Goa Gudawang.
Sabtu pagi para kompasianer sudah memenuhi sebuah kedai mungil di bilangan Sarinah. Jarum jam belum tepat menunjukkan pukul sembilan tapi Pak Diaz dan putranya, Pak Taufik, Bang Rahab, dan Mba Muthiah sudah setia menanti sambil menunggu roti hangat dihidangkan. Akhirnya setelah mba Windhu tiba kami pun berangkat bersama elf.
Kami menuju Goa Gudawang dengan rute Parung Panjang. Ketika melewati Legok jalan telah berubah menjadi tak lagi mulus. Satu setengah jam berikutnya jalanan didominasi oleh truk pengangkut batu. Aku bertanya-tanya jika terus-terusan ditambang apakah gunung atau bukitnya beberapa tahun ke depan akan menghilang?
Perjalanan masih panjang. Untuk mengusir sepi kami berbincang apa saja, hingga kemudian waktu terasa makin siang dan perut mulai lapar. Tapi rupanya obyek tujuan sudah dekat, sehingga kami pun memutuskan mengeksplorasi goa terlebih dahulu.
Goa Gudawang dengan Tiga Goa Andalannya
Goa Gudawang terletak di Desa Argapura, Cigudeg, Bogor. Obyek wisata ini mulai dibuka oleh umum pada tahun 1991. Di sini adalah kompleks goa dengan ditemukannya 12 goa alami yang terbentuk karena proses karstifikasi bertahun-tahun. Batu gamping pembentuk Goa Gudawang diperkirakan berusia 15 juta tahun.
Dari belasan gua tersebut hingga saat ini baru tiga goa yang dibuka untuk pengunjung. Dua di antaranya telah dilengkapi dengan lampu, anak tangga, dan pegangan tangga. Tiga gua tersebut adalah Goa Simenteng, Goa Simasigit, dan Goa Sipahang.
Goa-goa di kompleks Goa Gudawang dulu digunakan untuk bertapa atau mencari wangsit. Tapi sekarang banyak yang datang karena ingin berwisata mengeksplorasi goa, mencari tempat wisata alam yang beda, juga menikmati keindahan stalagmit dan stalaktit.
Obyek wisata masih sepi ketika kami tiba di sini. Kami memilih mengeksplorasi Goa Simenteng dulu yang memiliki mulut goa seperti macan milik Prabu Siliwangi dengan gigi, taring, dan lidah.
Disebut Simenteng karena dulu di sekitarnya banyak pohon menteng. Goa ini menurun. Kami menuruni anak tangga dengan dibantu lampu dalam goa dan senter. Hawa di dalamnya terasa pengap dan lembab.