Jarum jam belum menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tapi hari itu cuaca begitu terik. Sinar matahari terasa begitu terang dan panasnya menyengat. Aku jadi bertanya-tanya, mungkin seharusnya pagi-pagi sekali atau jelang petang aku menuju kompleks Candi Ijo. Tapi kemudian aku tak menyesal.
Dari bandara perjalanan menuju Candi Ijo terbilang sebentar. Sekitar 30 menitan. Roda dua yang mengantarkanku membawaku menuju Candi Prambanan, kemudian terus melaju, melewati Tebing Breksi yang sedang beken dan terus menanjak.
Wah panoramanya begitu indah. Gersang sekaligus menawan. Angin berhasil mengalahkan terik sang surya, membuatku tak lagi terasa gerah.
Candi itu terletak di sebuah lereng bukit padas. Ia berupa kompleks percandian, dengan candi utama yang berukuran besar kemudian ada candi pengiring. Di tempat lain juga terdapat candi-candi yang baru dan sedang dipugar. Menurut penjaga, bisa jadi masih ditemukan candi-candi lagi.
Harga tiketnya murah. Hanya p 5 ribu untuk wisatawan lokal. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara dikenakan Rp 10 ribu. Ia buka dari pagi hingga sekitar pukul 18.00 karena banyak yang berburu matahari terbenam di sini.Â
Candi ijo namanya. Konon nama ini dikarenakan daerah tempat candi ini berada adalah di Gunung Ijo yang lumayan tinggi. Lokasi persis candi ini di Desa Groyokan, Sambirejo, Kecamatan Prambanan.Â
Cerita lainnya mengatakan nama desa "ijo" atau hijau ini sudah disebutkan dalam sebuah prasasti, yakni Prasasti Poh. Di situ disebutkan "...anak wanua i wuang hijo..." atau bermakna seorang hadirin upacara dari desa Wuang Hijo. Prasasti ini dibuat tahun 906 Masehi.
Aku mengitari candi satu demi persatu. Kemudian memasuki bagian dalam ruangannya. Tiap candi memiliki bagian dalam ruangan yang beberapa di antaranya berbeda satu sama lain. Ada yang berupa lingga yoni, lambang Siwa dan juga ada arca seperti lembu, Nandini, kendaraan Siwa.
Candi-candi ini indah dan memiliki corak Hindu. Ia memiliki relief seperti sulur tanaman dan burung bayan. Juga hiasan kala seperti candi-candi di Jawa Timur, demikian pula dengan konsep pola candi yang semakin tinggi ke belakang. Tapi candi ini juga berbeda dengan candi pada umumnya di Jawa Timur karena hiasan kalanya tak memiliki rahang bawah.
Kompleks Candi Ijo mulai dipugar tahun 1980-an. Ia kemudian ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 1998. Hingga kini pemugaran masih dilakukan secara bertahap