Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Catatan Diskusi KPI, Sensor Berlebihan, dan Perlunya Revisi P3SPS

2 Oktober 2019   13:50 Diperbarui: 3 Oktober 2019   09:44 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Penyiaran Indonesia alias KPI menjadi sorotan akhir-akhir ini. Yang pertama karena adanya wacana untuk mengawasi media baru, seperti YouTube dan Netflix. 

Kedua, karena ada pelaku pembunuhan keji mengaku terinspirasi dari sinetron. Dan yang ketiga, gara-gara SpongeBob kena semprit. Wah bagaimana kira-kira para komisioner KPI Pusat menjawab keluhan masyarakat ini?

Tanya jawab antara panelis dan ketiga komisioner dari KPI Pusat ini ditampilkan dalam QnA "Antara KPI dan SpongeBob" yang diselenggarakan Metro TV pada Minggu (29/9) dan dimoderatori oleh Andini Effendi. 

Dalam acara ini KPI diwakili oleh ketiga komisioner, Hardly S.F. Pariela, Nunung Rodiyah, dan Irsal Ambia. Sedangkan para panelis di antaranya Maman Suherman dan Dara Nasution.

Topik SpongeBob menjadi hal yang banyak disorot. Para panelis menganggap KPI tebang pilih. Mereka membandingkan sikap KPI terhadap sinetron. KPI beralasan salah satu adegan SpongeBob memiliki unsur kekerasan yang kuat dan tidak layak ditonton oleh anak-anak. 

Tapi pertanyaan panelis kemudian bergeser ke sinetron. Pasalnya, masih banyak adegan sinetron yang malah mengajarkan hal-hal yang kurang pantas. Bahkan adegan perundungan juga adegan yang dianggap kurang masuk akal masih banyak ditemui di sinetron.

Antara KPI dan SpongeBob sebenarnya ada apa? (Dok. Kapanlagi.com)
Antara KPI dan SpongeBob sebenarnya ada apa? (Dok. Kapanlagi.com)
Hal ini juga berkaitan dengan sensor yang berlebihan di sejumlah tayangan teve. Tayangan kartun juga kena sensor, seperti Shizuka, tokoh dalam "Doraemon" yang pakaiannya dikaburkan karena mengenakan bikini. Juga ketika ada acara memerah sapi oleh anak-anak di mana ada adegan terkait dengan bagian tubuh sapi yang dikaburkan.

Menurut KPI saat ini mereka telah bekerja 24 jam sehari dengan 130 SDM untuk mengawasi 16 stasiun TV. Mereka berpedoman dengan P3SPS atau Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang di dalamnya memberikan panduan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang ditayangkan dalam sebuah acara TV dan radio. 

Dalam pedoman tersebut ada ketentuan seperti tayangan tidak boleh menampilkan kekerasan dan hal yang sifatnya vulgar juga SARA.

Saat ini ranah sensor untuk film dan iklan ada di Lembaga Sensor Film. Namun, stasiun TV juga melakukan sensor internal karena memang mereka takut jika acaranya disemprit oleh KPI. Hanya kemudian terjadi gap antara ketiga institusi tersebut ketika melakukan sensor.

Kurang Sinkronnya LSF, KPI, KPID, dan Lembaga Penyiaran
Dari diskusi tersebut ada dua hal yang menarik, dipicu oleh pertanyaan dari Maman Suherman yang kritis. Pertama masalah rating atau batasan usia sebuah tontonan. Rupanya diakui oleh KPI, batasan rating dewasa dari LSF dan KPI berbeda, belum sinkron.

P3SPS yang menjadi pedoman bagi KPI menjalankan tugas juga dirasa belum terlalu teknis dan pemaknaannya belum seragam antara KPI Pusat, KPI Daerah, dan Lembaga Penyiaran sehingga kemudian yang terjadi masyarakat menganggap KPI bersikap pilih kasih terhadap satu program dan program lainnya.

Batasan sensor juga dimaknai berbeda oleh LSF, KPI, dan lembaga penyiaran seperti stasiun televisi swasta. Karena takut ditegur dan patuh aturan KPI maka stasiun televisi kemudian melakukan sensor internal yang malah berlebihan.

Padahal menurut KPI mereka melakukan pemantauan berdasarkan konteks dan whole pictures. Jadi satu frame tidak bisa lantas dijadikan acuan untuk menentukan tayangan tersebut layak mendapat teguran atau tidak. Mereka juga mempertimbangkan nilai yang ada dalam tayangan tersebut ketika memantau sebuah program.

Tapi bagaimana dengan sinetron yang adegannya kurang masuk akal seperti sinetron "Azab"? Rupanya menurut KPI sinetron "Azab" dinilai memiliki value tinggi terlepas menurut publik adegannya kurang masuk nalar dan berlebihan.

Bagaimana sinetron
Bagaimana sinetron
Pelarangan ini juga dianggap kurang konsisten. Komisioner baru kadang-kadang tidak melanjutkan hal-hal yang telah dilarang oleh komisioner sebelumnya, seperti pelarangan waria muncul di TV yang kemudian diperbolehkan lagi dengan munculnya Lucinta Luna di layar televisi.

Hal lain yang kemudian dibahas adalah bagaimana KPI memaknai infotainment apakah termasuk kategori berita atau hiburan? Oleh karena pengkategorian ini memengaruhi dalam hal penyensoran. Rupanya sesama komisioner juga belum kompak untuk kategori infotainment.

Bagaimana dengan trailer film yang dipromosikan di televisi? Contohnya adalah trailer "Gundala" yang mendapat teguran karena memuat kata yang dianggap kasar. Padahal oleh LSF hal ini sudah lolos sensor. 

Untuk itu Maman mengusulkan agar KPI juga memiliki panduan semacam '7 dirty words' seperti yang ada di Amerika. Daftar kata ini bisa terus diperbarui seiring dengan perkembangan jaman.

Melihat permasalahan terkait dengan cara pandang terhadap panduan yang belum seragam, serta panduan yang masih dianggap general, maka para panelis menganggap P3SPS perlu dilakukan revisi sesuai dengan dinamika. Hal ini kemudian disepakati oleh komisioner.

Rupanya Pengawasan YouTube dkk Masih Wacana
Beberapa waktu lalu ramai dibahas oleh publik hingga kemudian muncul petisi untuk melakukan penolakan rencana KPI mengawasi YouTube, Netflix dan sebagainya. Dalam acara QnA ini disebutkan bahwa itu masih wacana karena belum ada di UU Penyiaran yang saat ini masih berlaku. 

Apakah nantinya pemantauannya dilakukan oleh KPI atau lembaga lain juga belum diputuskan, namun hal ini menarik untuk dijadikan diskusi publik. Jika nantinya masuk cakupan kerja KPI maka tentunya perlu dilakukan perubahan terhadap UU  Penyiaran tersebut.

Apakah nantinya penyedia layanan konten premium seperti Netflix harus punya kantor di Indonesia dan wajib memasukkan konten Indonesia, bakal menarik untuk dibahas. 

Demikian juga dengan sosialisasi tentang kids parental guide di layanan video streaming tetap dirasa perlu karena tidak semua pengguna YouTube tahu dan paham dengan fitur ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun