Ketika membaca berita di web Kompas tentang orangutan bernama Hope yang tampil di halaman depan The New York Times, aku jadi merasa nelangsa.Â
Hope dan anaknya mengalami nasib yang tragis. Ia diberondong 74 peluru. Anaknya meninggal, sedangkan Hope selamat meskipun menderita luka parah dan patah tulang.Â
Hope bukan satu-satunya orangutan yang bernasib malang. Ada begitu banyak satwa liar dan juga satwa lainnya di lingkungan perumahan yang mengalami perlakuan yang tak semena-mena.Â
Aku menjadi bertanya-tanya apakah negeri ini sudah berubah menjadi tak ramah bagi satwa?
Bagi satwa liar kehidupan manis tinggal di negeri yang indah mungkin hanya dialami sebagian kecil. Cerita indah mungkin hanya bisa dinikmati oleh kawan-kawan mereka yang tinggal di cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional.Â
Di hutan yang menjadi tempat lahir mereka, sumber makanan terus berkurang. Habitat tempat tinggal mereka dan lahan mereka mencari makan terus menyusut.
Oleh karena tempat tinggal dan tempat makan mereka semakin terbatas maka tak heran jika mereka mulai merambah ke wilayah pemukiman manusia. Mereka lapar dan mereka bingung akan mencari makan di mana.
Perubahan hutan menjadi lingkungan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu sumber penyebabnya. Â Banyak pula hutan yang menjadi lahan pertanian, pertambangan, dan perumahan.Â
Wilayah hutan Indonesia telah begitu cepat menyusut dan ini sudah menjadi sorotan dunia. Tapi tetap saja kondisi ini tak banyak berubah meskipun sudah ditetapkan morotarium.Â
Kebakaran hutan karena pembukaan lahan masih terjadi. Banjir dan kerusakan alam mulai terjadi di beberapa daerah karena mulai banyak dibuka pertambangan. Wajah Kalimantan dan Sumatera pun semakin bopeng-bopeng, dan hutan semakin botak.