Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Novel | Hujan Bulan Juni, Antara Jawa dan Manado

23 Juni 2019   14:41 Diperbarui: 20 April 2021   12:20 3675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Hujan Bulan Juni yang 2 tahun lalu difilmkan | Dokumentasi: iJakarta

Pada bab awal novel ini digambarkan situasi yang serupa dengan bait-bait dalam puisi tersebut. Sarwono yang merupakan dosen di Universitas Indonesia dan sedang beristirahat untuk memulihkan kesehatannya di Surakarta, terpaksa menuju Yogyakarta. Tenggat waktu penelitiannya bersama peneliti UGM telah dekat.

Pada saat itu ia memerhatikan bulan Juni tak biasanya. Juni yang dikenalnya kering kerontang, puncak kemarau. Panas terik di siang hari dan dingin pada malam hari.

Gerimis kemudian berubah menjadi hujan deras. Pada saat-saat ini ia melamunkan seseorang. Pingkan yang telah beberapa bulan ini pergi ke Jepang. Ia merasa rindu ini menyiksanya. Perasaan rindu yang meluap-luap inilah yang kemudian menginspirasinya menulis puisi yang kemudian dimuat di koran.

Cerita kemudian beralih ke kilas balik secara tidak runtut. Bagaimana Sarwono merasa tidak kuasa mencegah Pingkan pergi, bagaimana ia merasa cemas tak beralasan bahwa Pingkan akan meninggalkannya, dan bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Beberapa bagian cerita ditampilkan dalam sudut pandang Pingkan.

Novel ini tidak panjang, hanya 135 halaman. Ceritanya mudah dicerna, sehingga tak sampai dua jam aku sudah selesai menamatkannya.

Menurutku bagian yang mirip dengan cerita di puisi hanya bagian awalnya. Perasaan rindu Sarwono dan juga situasi hujan di bulan Juni. Lainnya fokus di hubungan romantis Pingkan dan Sarwono sejak keduanya dekat sebagai mahasiswa dan hingga Pingkan ditugaskan ke Jepang.

Perbedaan kultur dan karakter keduanya diketengahkan di novel ini. Sarwono digambarkan sebagai jawa jadul dari segi penampilan dan pemikirannya, sementara Pingkan wanita yang bebas dan modern. Ia merasa tak punya akar, karena ia tidak merasa sebagai Jawa, dan hanya tahu sedikit kultur Manado dari ayahnya. Cerita keduanya ini dikulik dengan beragam bumbu lainnya agar lebih dramatis.

Sebenarnya aku berharap lebih pada novel ini. Bukan sekedar cerita romantis yang berkesan cengeng. Apalagi ketika kuketahui ceritanya berlatar waktu sekarang, sekitar tahun 2015-an, di mana alat komunikasi sudah maju sehingga perasaan rindu mudah terobati. Akan lebih pas jika latar waktunya sekitar tahun 90-an atau lebih mundur.

Perbedaan kultur kurang tereksplorasi. Beberapa orang dekatku menjalani hubungan dengan orang Manado. Kultur dan pemikiran mereka beberapa di antaranya berlainan dengan orang Jawa. Ada stereotipe yang melekat untuk orang Jawa dan orang Manado. Tapi meski berbeda, banyak di antaranya yang berhasil menjalin hubungan. Di novel ini kurang tergali perbedaan kultur ini.

Aku merasa kurang puas dengan novel ini. Yang patut kuberikan apresiasi adalah beberapa puisi indah yang ada di novel ini serta penutup kisahnya yang tak biasa.

Aku malah penasaran akan filmnya. Ketika melihat trailer-nya, sinematografi dan pewarnaan filmnya keren. Velove nampak cocok sebagai Pingkan karena ia juga blasteran Jawa-Manado. Sedangkan Adipati Dolken kulitnya nampak digelapkan agar terasa kontras dengan Velove.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun