Kapan Kalian terakhir nonton layar tancap? Beberapa tahun terakhir aksi nonton film di tempat terbuka mulai menggeliat, meskipun evennya masih bisa dihitung dengan jari.Tahun ini nonton layar tancap rasa milenial kembali menggema. "Rooftop Cinema", nama evennya, yang digagas oleh Gerimis Bubar (Misbar) Jakarta. Selama bulan Februari setiap Sabtu, Kalian bisa merasakan nuansa menonton film yang berbeda.Â
Petang mulai menjelang. Ojek daring telah mengantarkanku di depan gedung JSC Hive Kuningan. Sudah ada spanduk yang menunjukkan even "Rooftop Cinema" dihelat di sana. Setiap pengunjung mendapat sambutan hangat dari beberapa panitia penerima tamu. Setelah mengisi buku tamu, aku pun menuju bagian teratas bangunan.Â
Atas atap JSC Hive telah dipermak menjadi tempat tontonan yang nyaman dan colorful. Alasnya berupa rumput sintetis yang bikin mata segar, sedangkan kursi berwarna-warninya terasa empuk.Â
Para pengunjung disambut dengan snack dan minuman selamat datang. Mereka asyik bercengkrama dan berfoto-foto sambil menunggu film diputar.Â
Tadi malam, film yang diputar adalah film pendek dan film panjang. Untuk film panjangnya adalah "Danur" yang diperankan Prilly Latuconsina. Sedangkan film pendeknya adalah "Dahan yang Rapuh, Bunga yang Tumbuh" yang disutradarai Alessandra Langit.Â
Aku hanya menonton film pendek karena sudah beberapa kali menonton "Danur" yang diangkat dari kisah nyata yang dialami Risa Saraswati. Film pendek ini berdurasi 16 menit dan berjenis film dokumenter. Film ini merupakan karya tiga mahasiswa dan mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara.Â
"Dahan yang Rapuh, Bunga yang Tumbuh" berkisah tentang transgender di kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kadang-kadang manusia suka menghakimi, tapi tidak paham alasan seseorang kemudian melakukan pergantian jenis kelamin. Sebagian masyarakat masih suka mencemoh penampilan mereka hingga sekarang.Â
Ada beberapa waria yang tampil di film dokumenter pendek ini. Di antara waria tersebut ada Bunda Yetty dan Shinta Ratri.Â
Bunda Yetty bercerita awal mula ia menjadi waria. Rupanya sejak SMA ia mulai suka dan berani mengenakan baju perempuan. Ia tak peduli dengan omongan orang-orang karena baginya masalah dosa dan sebagainya itu adalah masalah pribadinya dengan Tuhan.Â
Menjadi waria seperti Bunda Yetty dan Shinta tidaklah mudah. Gerak-gerik mereka disoroti dan membuat mereka kadang-kadang tak nyaman. Lapangan pekerjaan bagi waria pun di sebagian daerah juga terbatas, kalau tidak bekerja di salon ya jadi pengamen atau malah jatuh ke lembah prostitusi.Â