Kopi memang semakin naik kelas sejak lima tahun terakhir. Tren minum kopi yang dulunya hanya terbatas di kalangan tertentu, kini semakin meluas. Menariknya tren minum kopi ini diiringi oleh keinginan untuk mengetahui lebih banyak asal kopi, ciri khas tiap kopi, dan segala hal yang menambah wawasan tentang kopi. Ada yang menyebut tren minum kopi saat ini sebagai tren yang diusung era kopi gelombang ketiga.
Seiring dengan buku Filosofi Kopi  karya Dewi Lestari disusul dengan dilayarlebarkannya film ini kesadaran masyarakat akan kualitas kopi Indonesia semakin tinggi. Dulu minum kopi hitam tubruk hanya biasa dilakukan di kedai dan warung biasa. Tapi kini kopi hitam juga banyak disajikan di kedai-kedai kopi kekinian. Peminatnya juga meluas, para perempuan dan pria milenial kini banyak yang hafal dengan jenis kopi lokal, bahkan berburu kopi-kopi lokal berkualitas seperti kopi Lampung, kopi Bajawa, kopi Gayo, kopi Toraja, dan kopi Jawa.
Kini kedai kopi banyak bermunculan. Tidak hanya di pusat perkantoran elit dan jalan strategis, tapi juga di lingkungan perumahan, pusat perbelanjaan, dan juga lingkungan kampus. Kopi-kopi untuk menghasilkan racikan coffee latte, americano, cappuccino, espresso, Vietnam coffee, flat white, mochaccino, black coffee, dan sebagainya kini rata-rata berasal dari kopi lokal. Buat apa mengimpor kopi, toh kualitas kopi lokal malah lebih bagus. Kualitas kopi Indonesia malah sudah terakui dunia sejak tiga abad silam.
Ya, kini tren kopi meluas. Ini merupakan iklim yang bagus bagi petani kopi, Â pengusaha kopi, juga mereka yang berusaha di usaha kedai kopi, juga termasuk sekolah dan kursus barista alias baracik. Oleh karenanya aku setuju dengan e-book gratis dari Liputan Khusus Tempo berjudul Saatnya Merayakan Kopi. Sudah waktunya Indonesia bangga akan kualitas kopinya dan menjadikan kopi sebagai bagian dari kebudayaan dan salah satu ikon wisata. Jauh-jauh ke Indonesia tanpa mencicipi kopinya bakal rugi lho.
Pada gelombang pertama, penikmat kopi adalah masyarakat yang kurang memerhatikan kualitas kopi yang diminum. Kopi kemasan tak apa-apalah. Selanjutnya pengusung tren kopi gelombang kedua adalah mereka yang gemar nongkrong di kafe dan menikmati varian kopi tertentu. Singgah di kedai kopi yang mahal selepas jam kantor terasa prestise.
Kemudian tren kopi gelombang ketiga hadir. Pada gelombang ketiga ini bukan hanya tentang minum kopi, tapi juga wawasan perkopian. Kini banyak yang penasaran dan ingin tahu asal kopi, kualitasnya, cara pengolahan, dan metode penyajiannya. Mereka yang ingin menjadi baracik juga lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya.
Bisnis kopi di Indonesia semakin cerah dengan tren kopi gelombang ketiga ini. Kopi lokal semakin dikenal dan disayang. Hal ini merupakan peluang yang baik dengan menjadikan kopi sebagai komoditas ekspor nonmigas unggulan. Namun sayangnya produksi kopi Indonesia masih kalah kuantitasnya dengan Brazil, Columbia, dan Vietnam.
Hal ini dikarenakan cara bertanam kopi dan cara memanen yang masih banyak menggunakan cara tradisional. Siapa tahu Indonesia ke depan memiliki pusat penelitian kopi dan jurusan perkopian yang membahas dari sisi pertanian, teknologi bertani kopi dan pengolahan hasil kopi, hingga pemasaran dan sisi sosial budayanya.
Sudah minum kopikah hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H