Gerbang masuk ke Candi Badut sudah tertutup. Aku menghembus nafas kecewa karena ini sudah kali kedua aku tidak beruntung. Padahal jam masih menunjukkan sekitar pukul 16.00, masih ada waktu sejaman sebelum tutup. Melihat aku kecewa, kawanku kemudian mencari si penjaga candi tersebut. Untunglah si penjaganya mau membuka gerbang, sehingga kami bisa masuk.
Selama sejam kemudian aku pun berkeliling candi bercorak Hindu peninggalan kerajaan Kanjuruhan. Candi ini sepi dan tak banyak dilirik wisatawan. Wisata sejarah memang masih belum banyak peminat.
Candi ini terletak di kawasan Perumahan Tidar. Tak banyak penanda. Namun, sebenarnya candi ini mudah dijangkau, tak jauh dari Candi Badut, terdapat terminal angkutan mikrolet A-T (Arjosari-Tidar). Candi ini juga hanya sekitar limabelas menitan dari Kampus Brawijaya dan duapuluhmenitan dari Alun-alun Malang.
Memasuki Candi Badut, wisatawan disambut taman yang asri. Rindang dan nyaman untuk berkeliling.
Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan berada pada masa kejayaan pada abad kedelapan masehi. Sekitar lima abad sebelum Kerajaan Singosari.
Bentuk candi yang ada saat ini relatif sederhana jika dibandingkan Candi Singosari. Tubuh candi berbentuk persegi dan tak beratap karena tak lengkap atau mungkin belum dapat dipugar seperti sediakala. Tidak banyak ornamen dan relief di sekeliling candi.Â
Di bagian atas candi terdapat hiasan kala. Dari empat sisi relung candi, hanya tertinggal arca Batari Durga Mahisasuramardini. Arca Rsi Agastya dan Ganesha sudah tidak ada.
Candi Badut ini punya banyak versi tentang asal usul namanya. Nama Candi Badut ini diberikan oleh Dr. Brandes dan Dr. V.D.K. Bosch merujuk pada nama Sang Liswa atau Raja Gajayana. Liswa memiliki arti anak tukang komedi dan penari yang disebut juga badut.Â