Kendaraan kami berhenti di sebuah rumah yang berhalaman lumayan luas. Ketika hendak masuk ke rumah, kami disambut tiga ekor kucing. Satu kucing dewasa berwarna gelap, satu kucing kecil putih dengan wajah sendu, dan satu ekor kucing mirip kucingku si Mungil, motif putih hitam. Sejenak aku jadi ingat kucing-kucingku, Nero dan Mungil. Ya, aku baru ingat kedua sepupuku itu lebih 'gila' dalam urusan perkucingan dibandingkan denganku. Rumahnya sudah mirip suaka kucing.
Tidak semua sanak saudaraku pecinta kucing. Kecintaan terhadap kucing diwariskan oleh nenekku. Rasanya setiap saat dan setiap waktu rumah diisi oleh kucing. Karena rumahku dan rumah nenekku bersebelahan maka kucingku juga jadi kucing nenek, dan sebaliknya.Â
Kami memelihara kucing berdua kecuali si Dandong, kucing anggora kampung,yang hanya milikku. Nenekku tak suka pada Dandong karena ia suka menggoda dan mengajak kelahi kucing nenek bernama si Imut. Aku sedih jika kedua kucing itu berkelahi karena aku sayang keduanya, eh meski aku lebih sayang ke Dandong.
Suatu ketika kucing kami beranak pinak. Di rumah sampai ada 13 kucing. Benar kata orang bijak, jika terlalu banyak kucing maka repot mengurusnya. Dan kami pun kerepotan mengurusnya hingga kucing-kucing itu jarang yang berumur panjang. Yang usianya di atas lima tahun hanya Imut dan Tung-tung.Â
Selain aku, cucu nenek lainnya yang juga pecinta kucing adalah duo bersaudara yang tinggal di jalan bunga dan satu lagi yang tinggal di Surabaya. Jika aku mengobrol tentang kucing, mereka sangat antusias.Â
Kucing-kucing Sibuk Menyambut
Di antara tiga kucing di depan, si kucing kecil berwarna putih memiliki wajah yang memelas. Kelopak matanya setengah menutup, sepertinya ia agak sakit. Sepupuku mengiyakan dan akan memberinya obat. "Iyo mba, areke koyoke rada lara. Engkuk tawenehi antibiotik," kata sepupuku.Â
Eh ada lagi di garasi hihihi. Tiga ekor kucing. Dua kucing betina dan satu kucing kecil berbulu gelap. Mereka awalnya berseliweran menyambut kami, kemudian kebosanan dan memilih tidur di garasi.