Lagi-lagi berita bakal terjadinya tawuran antara kelompok pemuda yang tengah melakukan sahur on the road di kawasan Jakarta Selatan mewarnai lini berita. Kejadian ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, sehingga meresahkan warga. Ibarat nila setithk rusak susu sebelangga, citra sahur on the road yang sebenarnya memiliki niat mulia pun tercoreng. Berbagai pemerintah daerah pun memutuskan untuk melarang aktivitas ini.
Sahur on the road mulai marak sekitar satu dekade silam. Awalnya aku mengira kegiatan ini semacam pawai obor. Dulu biasanya ada sekelompok anak-anak dan remaja berjalan kaki membawa obor, membangunkan warga untuk sahur. Kegiatan ini biasa dilakukan pada saat liburan sekolah dan tidak setiap hari. Aktivitas tersebut dilakukan sekitar pukul 02.00-03.00 WIB. Kadang-kadang mereka membawa bedug, menciptakan irama yang harmonis.
Waktu aku kuliah di Surabaya, aku terbantu oleh kehadiran pawai obor itu. Aku menyukai kegiatan mereka karena memperkental nuansa Ramadan. Rasanya waktu itu tak terdengar berita macam-macam seperti tawuran dan sebagainya pada saat pawai obor tersebut.
Sahur on the road berbeda dengan pawai obor. Tujuannya bukan hanya membangunkan orang untuk sahur. Ia memiliki nilai tambah lainnya, yaitu nilai berbagi. Pada saat sahur on the road maka makanan pun dibagikan kepada kaum papa yang ditemui selama melakukan konvoi secara cuma-cuma. Harapannya, para kaum papa di jalanan tersebut dapat melakukan ibadah sahur dengan makanan yang layak.
Konsep dan tujuan kegiatan tersebut positif. Memang sudah jadi rahasia umum apabila di kota-kota besar seperti Jakarta masih banyak kaum papa, di antaranya kaum tunawisma. Pada saat bulan puasa, mereka belum tentu dapat melakukan ibadah sahur ataupun berbuka dengan hidangan yang layak. Dengan adanya makanan bergizi sebagai makanan sahur, mereka akan memiliki energi cukup untuk melakukan ibadah puasa dan beraktivitas seharian.
Sayangnya, karena ulah beberapa kelompok, citra sahur on the road pun belakangan ternodai. Pada saat sahur on the road, di berbagai tempat malah terjadi tawuran dan tindakan meresahkan yang tidak sepatutnya, seperti mabuk-mabukan, pesta ganja, dan vandalisme . Kejadian-kejadian ini jika dibiarkan akan memberikan kelompok-kelompok tersebut celah untuk terus melakukan tindakannya yang negatif dan malah berujung meresahkan warga.
Pemerintah Kota Bekasi kemudian melarang aktivitas ini. Sahur on the road dianggap memiliki banyak unsur negatif, dibandingkan unsur positifnya. Lebih banyak yang konvoi tidak jelas, daripada memberikan bantuan makanan sahur ke warga yang kurang mampu.
Sementara itu, di Jakarta sendiri, kegiatan ini tetap diperbolehkan dengan pengawasan. Meskipun sudah ada batasan-batasan tentang kegiatan ini, namun tetap saja bisa terjadi kecolongan, seperti tawuran yang terjadi beberapa hari lalu. Memang aneh apabila pada saat hendak melakukan sahur on the road, malah ada anggota kelompok yang membawa benda tajam.
Di luar kejadian-kejadian tak mengenakkan tersebut, masih ada yang melakukan kegiatan sahur on the road dengan niat yang lurus. Tekat dan semangat mereka tersebut dalam melakukan sahur on the road layak diapresiasi.
Tentang sahur on the road, apabila memang celah kegiatan negatifnya lebih besar daripada unsur positifnya maka pemerintah daerah setempat berhak melarangnya. Namun, intisari dari kegiatan sahur on the road sendiri bisa tetap dijalankan, dengan cara melibatkan masjid-masjid, karang taruna dan pamong praja daerah setempat. Dengan demikian warga sekitar juga dapat lebih mengetahui dan mengenal langsung kondisi sekelilingnya. Jika memang masih banyak kaum papa dan tunawisma di daerahnya, maka kondisi tersebut bisa jadi masukan bagi pejabat yang berwenang di kawasan tersebut.
Intisari dan tujuan sahur on the road memang mulia. Namun, metode penerapan aksi ini masih bisa diubah, agar lebih tepat sasaran dan bisa menutup celah tindakan-tindakan yang meresahkan masyarakat.