Saat  ini posisi kapal laut sebagai mode transportasi telah melewati masa  kejayaannya. Dengan semakin banyaknya armada pesawat terbang dan godaan  promo tiket pesawat murah maka masyarakat, terutama generasi muda, makin  kurang tertarik dengan berlayar. Bahkan, nama Pelni sendiri bisa jadi  makin asing di telinga kalangan milenial dan generasi Z. Lantas apa yang  harus dilakukan Pelni agar tetap bertahan dan dibutuhkan masyarakat?
Belasan  tahun silam aku beberapa kali mendengar cerita dari bibiku tentang  pengalamannya naik kapal berhari-hari dari Kalimantan menuju Surabaya.  Menurutku ceritanya sungguh seru karena aku sendiri belum pernah melihat  kamar dan tidur di kamar yang ada di kapal. Meskipun berhari-hari ia  tak bosan selama perjalanan melaut dan tak mabuk laut.
Aku  mendengar cerita itu dengan kagum. Benakku melalang buana, membuang  bayangan tentang betapa sengsaranya bibiku  tidur berhimpitan di  geladak, kemudian berimajinasi tentang bibiku yang asyik di kamar di  kapal menonton teve, lalu ketika bosan ia pun membuat catatan  perjalanan.
Kapal yang pernah kutumpangi waktu masih kecil hanya  kapal penyeberangan dari Surabaya menuju pulau Madura. Kapal kami  berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak menuju Pelabuhan Kamal,  Bangkalan. Tidak ada kasur, tidak ada kamar, hanya bangku-bangku di  geladak. Selama kurang dari satu jam aku bersyukur tidak mabuk laut dan  muntah-muntah seperti yang dialami beberapa kawanku. Mungkin aku punya  bakat tidak mudah mabuk laut sehingga suatu saat bisa menikmati  perjalanan seperti yang dialami bibiku, naik kapal berhari-hari  mengarungi lautan menuju pulau-pulau yang eksotis.
Perjumpaanku  dengan PT Pelni (Persero) kembali terjadi dua tahun lalu. Saat itu aku  bersama Click, komunitas terkait transportasi umum Kompasiana diundang  buka bersama oleh Pelni. Kami diperkenalkan dengan KM Kelud yang besar  dan fasilitasnya bikin aku pengin untuk berlayar bersamanya. Di dalamnya  ada kamar-kamar nyaman seperti yang diceritakan oleh bibiku. Selain itu  juga ada restorasi, mini bioskop dan hiburan lainnya sehingga tak bakal  bosan untuk berlayar. Sayangnya aku belum ada kesempatan dan rencana  untuk menikmati liburan dengan berlayar.
Benarkah Kejayaan Pelni Telah Sirna?
Coba  tanya ke beberapa rekan kerjamu yang berasal dari luar Jawa. Naik  apakah ia pulang ke kampung halaman? Sebagian besar mungkin akan  menjawab bakal naik pesawat terbang. Lebih cepat dan terkadang lebih  murah jika dibandingkan dengan mode transportasi darat dan laut.  Namun  bukan berarti peminat kapal laut telah hilang sama sekali.
Kemunduran Pelni terjadi sejak memasuki tahun 2000-an. Dari tahun 2002 menuju tahun 2003 penumpang merosot sebanyak satu juta.  Angka penurunan yang signifikan.  Padahal pada tahun 2000, tercatat  Pelni masih mengangkut 8 juta penumpang. Pada tahun 2004 kisaran  penumpang kembali menurun, menjadi sekitar 4 juta penumpang. Setelah itu  Pelni terus berupaya bertahan. Pada tahun 2016 Pelni hanya mengangkut 3,5 juta penumpang, angka yang sangat kecil jika dibandingkan penumpang pesawat terbang yang mencapai 83 juta penumpang.
Menyikapi  semakin banyaknya warga yang berpindah ke lain hati ke mode  transportasi udara, Pelni tetap optimis dan melakukan berbagai strategi.  Ia melakukan pendekatan ke instansi pemerintah, swasta, dan BUMN  seperti mengadakan mudik gratis bekerja sama dengan BUMN. Kegiatan ini  mendapat animo positif dari masyarakat. Tahun ini Pelni bekerja sama  dengan 7 BUMN membagikan sekitar 2000 tiket mudik gratis dari Jakarta ke  Surabaya.