Pukul enam pagi langit Macao masih gelap. Kemudian perlahan-lahan matahari pun muncul. Kami pun berangkat ke Senado Square yang hanya berjarak limabelas menitan dari hotel. Suasana masih lengang, kami pun lanjut berjalan kaki ke reruntuhan gereja St. Paul. Kupikir kami bisa menikmati suasana pagi hari yang santai di reruntuhan gereja ini. Dugaan kami salah. Ikon Macao ini begitu ramai sesak oleh wisatawan.
Ada begitu banyak rombongan turis yang memadati reruntuhan St Paul ini. Aku pun memilih melipir ke bagian belakang, setelah mengambil beberapa foto. Di bagian belakang, termasuk kompleks reruntuhan tersebut terdapat Museum of Sacred Art and Crypt, juga terdapat Kuil Na Tcha. Sayangnya aku datang terlalu pagi, museum tersebut belum dibuka.
Tak jauh dari reruntuhan St. Paul di sisi kanan terdapat taman dan jembatan. Para lansia berolah raga di sana. Ada juga bangku-bangku taman dan patung seorang pendeta dari Italia, Matteo Ricci (1552-1610). Ia memulai misinya menyebarkan agama Katholik di Macao pada bulan Agustus 1582. Aku pun duduk di bangku tersebut dimana aku bisa memerhatikan ruinSt. Paul yang masih juga dikerumuni wisatawan. Hari masih pagi dan hawa begitu segar, sehingga nyaman duduk-duduk di sini.
Senado Square dan Ruin St Paul merupakan dua di antara pusat atraksi di Macao. Wisatawan lokal dan mancanegara menjadikan agenda wajib untuk berfoto di sini sebagai kenang-kenanhan pernah berkunjung ke Macao.
Aku berbincang-bincang dengan Mas Chris, bagaimana seandainya gereja St Paul ini masih utuh, bukan hanya fasadnya? Ia tertawa. Mungkin kalau utuh malah bentuk bangunannya tidak sedramatis seperti saat ini. Hehehe bisa jadi benar atau tidak ya, tapi aku sebenarnya penasaran seperti apa wujud gereja dan perguruan tinggi i St Paul (St Paul College) ini berabad-abad silam dan kenapa bisa ada kuil di bagian belakangnya.
Gereja St. Paul ini didirikan pada tahun 1602 to 1640. Bagian ukir-ukiran fasadnya di antaranya dikerjakan oleh bangsa Jepang yang beragama Katholik sehingga ukir-ukirannya memiliki percampuran gaya Eropa dan Asia. Di antara ukirannya ada sosok Maria, Ibu Nabi Isa, dengan tujuh kepala hidra yang mirip dengan naga. Dulunya gereja yang disebut Mater Dei dan didekasikan kepada Saint Paul ini merupakan gereja khatolik terbesar di Asia masa itu.
Bangunan cantik dengan 68 tangga batu ini kemudian mengalami kebakaran hebat pada saat angin topan, yaitu pada 26 Januari 1835. Entah kenapa kemudian bangunannya dibiarkan hanya tersisa fasadnya. Namun, mungkin itulah keunikannya. Baik malam hari atau pagi hari suasana di reruntuhan ini menjadi dramatis.
Oh ya tak jauh dari reruntuhan ini terdapat Museum Macao dan benteng. Sayangnya waktu ke sana, museumnya belum buka sehingga kami harus puas dengan menjelajah benteng.
Nama benteng ini adalah Fortaleza do Monte atau juga disebut Benteng Gunung dan Benteng Our Lady dari Gunung St. Paul. Benteng ini memang lokasinya di atas bukit di daerah Santo Antonio. Lokasinya mungkin bisa disebut lumayan tinggi sehingga dari atas benteng, bisa melihat pemandangan cantik pulau Macao. Di sini ada 32 meriam yang mengarah ke kota dan perairan, juga menara pengawas kecil. Oh ya ada juga barak, gudang senjata, dan sumur. Sama halnya di taman dekat reruntuhan St. Paul, ada banyak lansia yang berolah raga di sini. Memang pemandangan dari sini cantik dan hawanya segar. Wah melihat mereka berlatih taichi, seolah-olah aku jadi diingatkan untuk rajin berolah raga.