Hujan mengguyur tiada hentinya sejak siang. Batik warna-warniku relatif kering, namun celanaku sebagian basah karena jas hujan pinjaman abang ojek hanya atasan. Basah dan dingin aku menginginkan sesuatu yang hangat. Aku pun menepi di sebuah kedai kopi mungil. Rasanya kopi hangat dari kedai bernama Kultur Jaringan Kopi itu bakal nikmat dan hangat sambil menunggu hujan reda.
Kedai kopi itu mengusikku, menarik perhatianku sejak beberapa minggu lalu. Bukan karena tempatnya yang mewah atau terkenal, atau menunya yang beragam. Melainkan, desain eksteriornya yang kurang sesuai dengan sekelilingnya.
Ia nampak mencolok di antara deretan bengkel dan toko sepanjang jalan Kalisari Raya Jaktim, bak sebuah kedai di sebuah kisah fantasi. Ada pintu, jendela dan dinding bata merah. Yang membuat aku yakin itu kedai kopi adalah papan nama yang menunjukkan nama kedai, juga papan seperti papan tulis yang menunjukkan menu dan jadwal mereka buka.
Saat itu hujan dan aku pulang lebih awal setelah rapat. Kemarin, hari Minggu, aku ingin ke sini, mencoba menikmati pagi atau sore di hari Minggu dengan bersantai di kedai, sayangnya hari Minggu mereka libur. Akhirnya mumpung ada waktu, aku pun berhujan-hujan ke sini.
Kedai kopi bernama Kultur Jaringan itu benar-benar mungil. Hanya ada sebuah meja dan dua kursi tinggi dan dua bangku panjang. Aku memilih bangku panjang dimana aku bisa melihat hujan dari jendela. Kedai mungil, aku membayangkan petugas atau baristanya seorang kurcaci. Aku salah. Seorang perempuan muda menanyakan jenis minuman atau kudapan yang ingin kupesan. Aku bingung. Aku menuju meja kasir yang sekaligus etalase berbagai jenis minuman dan peralatannya untuk melihat daftar menunya. Aku ingin sesuatu yang hangat. Pilihannya hanya kopi hitam dan kopi susu untuk yang hangat. Aku pun memilih kopi susu hangat ukuran reguler. Harganya Rp 16.500,-.
Kedai ini mungil dan nyaman. Aku merasa hangat. Hujan, tidak ada tamu selain aku. Aku pun leluasa memperhatikan seisi ruanganku.