Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Benarkah Ada Pergeseran Konsumsi BBM?

1 September 2017   10:03 Diperbarui: 7 November 2017   14:23 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangsa pasar Pertalite terus membengkak dibandingkan Premium (sumber ilustrasi: Pertamina)

"Mba', saya isi bensin dulu ya. Kuatirnya bensinnya tidak cukup buat ngantar". Motor yang saya tumpangi pun kemudian memasuki pom bensin. Yang menarik perhatian saya, ojek online tersebut tidak ikut antri ke jalur antrean Premium, ia memilih antri ke jalur Pertalite. Ooh mungkin jalur antreannya lebih sepi dibandingkan antrian jalur Premium yang mengular, pikirku.

Sambil meneruskan perjalanan, tanpa diminta pengojek online bercerita jika sudah setahun ini ia beralih ke Pertalite. "Kalau ada duit lebih ya sesekali motor kesayangannya mengonsumsi Pertamax," ujarnya. Alasannya ia berganti ke Pertalite karena motor skuter matiknya jauh lebih bertenaga dan mesin lebih bersih. "Tarikannya lebih kencang".

Kakak dan suami juga sudah lama mengganti bahan bakarnya dengan Pertalite. Kalau kakak alasannya pom bensin di tempat tinggalnya di Lippo Cikarang jarang menjual Premium, rata-rata Pertamax dan Pertalite, sehingga ia menggunakan dua jenis bahan bakar tersebut. Namun, kakak lebih sering menggunakan Pertamax karena jalur antreannya yang pendek. Ia beralasan sayang mesin motornya, selain malas kalau ngantre panjang hahaha. Sedangkan suami memilih Pertalite karena RON-nya yang lebih tinggi sehingga ruang bakar di mesin lebih bersih. Kadang-kadang ia juga masih menggunakan Premium, jika duit di dompet sedang cekak.

Sejak Pertalite diluncurkan dua tahun silam, jenis bahan bakar ini memang cukup menyedot perhatian masyarakat. Harganya tidak berbeda jauh dengan harga Premium perliternya, tapi kualitasnya lebih baik. Hal ini dikarenakan RON-nya lebih tinggi dibandingkan Premium. Premium memiliki RON (real octane number) atau bilangan oktan sebesar 88, sedangkan Pertalite memiliki angka lebih tinggi, yaitu RON-nya mencapai 90. Motor matic umumnya disarankan untuk menggunakan bahan bakar beroktan tinggi agar lebih bertenaga dan mesin kendaraan lebih terjaga karena kadar sulfurnya yang lebih rendah. Penggunaan Pertalite juga diyakini lebih efisien dan irit, di mana dengan satu liter Pertalite bisa menempuh 11,6 Km, sementara Premium hanya berjarak tempuh 10 Km per liternya.

Kualitas Pertalite lebih unggul daripada Premium (sumber ilustrasi: Pertamina)
Kualitas Pertalite lebih unggul daripada Premium (sumber ilustrasi: Pertamina)
Pergeseran Konsumsi BBM
Tentang terjadinya perubahan tren konsumsi BBM di kota besar ini baru kuperhatikan akhir-akhir ini. Persisnya, ketika timeline facebook dan beberapa anggota di grup percakapan di Whats app rajin membagikan artikel tentang kelangkaan bensin Premium. Banyak komentar pedas terkait hal tersebut dimana rata-rata menyalahkan Pemerintah dan Pertamina berupaya menghilangkan bensin Premium dan memaksa masyarakat berganti dengan Pertalite atau Pertamax. Terkait hal tersebut, aku mencoba memandangnya dari dua sisi, benarkah terjadi pergeseran konsumsi BBM seperti yang diyakini Pertamina sehingga membuat mereka memilih memperbanyak menjual Pertalite dan Pertamax?

Kisah pengojek dan keluargaku yang mulai berganti konsumsi BBM ke Pertalite dan Pertamax tidak bisa dijadikan pembenaran terjadi tren melonjaknya konsumsi Pertalite. Aku pun menggogling tentang konsumsi Pertalite dan ternyata banyak media online yang mengabarkan melonjaknya konsumsi Pertalite sejak akhir 2015. Setiap tahun terjadi penambahan permintaan terhadap Pertalite. Bahkan KOMPAS.com menyebutkan pada bulan Februari (13/2) lalu konsumsi Pertalite naik 837 persen dibandingkan konsumsi per Januari 2016.

Dari data yang dirilis oleh Pertamina memang terlihat lonjakan konsumsi Pertalite dan Pertamax hingga kuartal pertama tahun 2017. Pada tahun 2016 konsumsi Pertalite sebanyak 31.030 kiloliter/hari, sedangkan konsumsi Pertalite pada kuartal 2017 mencapai 33.513 kiloliter/hari. Hal itu menunjukkan terjadi peningkatan 7,4 persen.

Terjadi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite (sumber ilustrasi: Pertamina)
Terjadi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite (sumber ilustrasi: Pertamina)
Jika Pertalite menunjukkan peningkatan, hal ini berbanding terbalik dengan pangsa Premium yang semakin menurun. Pada Januari 2016 angka Premium masih dominan yaitu 87 persen. Kemudian pada akhir 2016 mulai terjadi penurunan, menjadi 45 persen, sementara itu Pertalite dan Pertamax malah melonjak dengan masing-masing 37 dan 18 persen. Selanjutnya, pada kuartal pertama 2017 penurunan konsumsi Premium masih terjadi tapi tidak signifikan, yakni menjadi 44,4 persen, sedangkan Pertalite naik dua angka menjadi 39 persen.

Melihat antusiasme pasar terhadap pertalite maka Pertamina pun menambah jumlah SPBU yang melayani Pertalite. Dari total 6.545 SPBU yang ada di Indonesia, 5.112 di antaranya melayani Pertalite dan 4.455 melayani Pertamax.

Pangsa pasar Pertalite terus membengkak dibandingkan Premium (sumber ilustrasi: Pertamina)
Pangsa pasar Pertalite terus membengkak dibandingkan Premium (sumber ilustrasi: Pertamina)
Menurutku angka tersebut bisa jadi memang menunjukkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan serta kesadaran menggunakan bahan bakar sesuai spesifikasi kendaraannya. Namun, bisa jadi ada korelasinya dengan penjualan motor matic yang meningkat pesat sepanjang 2017. Seperti yang dilansir oto.detik.com (12/6) pada Mei 2017 terjadi peningkatan penjualan motor matic menjadi sebesar 531.496 motor, pada bulan sebelumnya angka penjualan motor matic juga rata-rata di atas 300 ribuan. Motor matic memang disarankan untuk menggunakan bensin berkadar oktan tinggi.

Jika misalnya alasan bensin premium dibatasi karena kadar oktan 88 dianggap sudah tidak layak dijual maka sebaiknya Pertamina dan pemerintah melakukan intropeksi mengapa bensin berkualitas buruk tersebut tetap diburu, apakah karena berkaitan dengan daya beli masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun