"Mba', saya isi bensin dulu ya. Kuatirnya bensinnya tidak cukup buat ngantar". Motor yang saya tumpangi pun kemudian memasuki pom bensin. Yang menarik perhatian saya, ojek online tersebut tidak ikut antri ke jalur antrean Premium, ia memilih antri ke jalur Pertalite. Ooh mungkin jalur antreannya lebih sepi dibandingkan antrian jalur Premium yang mengular, pikirku.
Sambil meneruskan perjalanan, tanpa diminta pengojek online bercerita jika sudah setahun ini ia beralih ke Pertalite. "Kalau ada duit lebih ya sesekali motor kesayangannya mengonsumsi Pertamax," ujarnya. Alasannya ia berganti ke Pertalite karena motor skuter matiknya jauh lebih bertenaga dan mesin lebih bersih. "Tarikannya lebih kencang".
Kakak dan suami juga sudah lama mengganti bahan bakarnya dengan Pertalite. Kalau kakak alasannya pom bensin di tempat tinggalnya di Lippo Cikarang jarang menjual Premium, rata-rata Pertamax dan Pertalite, sehingga ia menggunakan dua jenis bahan bakar tersebut. Namun, kakak lebih sering menggunakan Pertamax karena jalur antreannya yang pendek. Ia beralasan sayang mesin motornya, selain malas kalau ngantre panjang hahaha. Sedangkan suami memilih Pertalite karena RON-nya yang lebih tinggi sehingga ruang bakar di mesin lebih bersih. Kadang-kadang ia juga masih menggunakan Premium, jika duit di dompet sedang cekak.
Sejak Pertalite diluncurkan dua tahun silam, jenis bahan bakar ini memang cukup menyedot perhatian masyarakat. Harganya tidak berbeda jauh dengan harga Premium perliternya, tapi kualitasnya lebih baik. Hal ini dikarenakan RON-nya lebih tinggi dibandingkan Premium. Premium memiliki RON (real octane number) atau bilangan oktan sebesar 88, sedangkan Pertalite memiliki angka lebih tinggi, yaitu RON-nya mencapai 90. Motor matic umumnya disarankan untuk menggunakan bahan bakar beroktan tinggi agar lebih bertenaga dan mesin kendaraan lebih terjaga karena kadar sulfurnya yang lebih rendah. Penggunaan Pertalite juga diyakini lebih efisien dan irit, di mana dengan satu liter Pertalite bisa menempuh 11,6 Km, sementara Premium hanya berjarak tempuh 10 Km per liternya.
Tentang terjadinya perubahan tren konsumsi BBM di kota besar ini baru kuperhatikan akhir-akhir ini. Persisnya, ketika timeline facebook dan beberapa anggota di grup percakapan di Whats app rajin membagikan artikel tentang kelangkaan bensin Premium. Banyak komentar pedas terkait hal tersebut dimana rata-rata menyalahkan Pemerintah dan Pertamina berupaya menghilangkan bensin Premium dan memaksa masyarakat berganti dengan Pertalite atau Pertamax. Terkait hal tersebut, aku mencoba memandangnya dari dua sisi, benarkah terjadi pergeseran konsumsi BBM seperti yang diyakini Pertamina sehingga membuat mereka memilih memperbanyak menjual Pertalite dan Pertamax?
Kisah pengojek dan keluargaku yang mulai berganti konsumsi BBM ke Pertalite dan Pertamax tidak bisa dijadikan pembenaran terjadi tren melonjaknya konsumsi Pertalite. Aku pun menggogling tentang konsumsi Pertalite dan ternyata banyak media online yang mengabarkan melonjaknya konsumsi Pertalite sejak akhir 2015. Setiap tahun terjadi penambahan permintaan terhadap Pertalite. Bahkan KOMPAS.com menyebutkan pada bulan Februari (13/2) lalu konsumsi Pertalite naik 837 persen dibandingkan konsumsi per Januari 2016.
Dari data yang dirilis oleh Pertamina memang terlihat lonjakan konsumsi Pertalite dan Pertamax hingga kuartal pertama tahun 2017. Pada tahun 2016 konsumsi Pertalite sebanyak 31.030 kiloliter/hari, sedangkan konsumsi Pertalite pada kuartal 2017 mencapai 33.513 kiloliter/hari. Hal itu menunjukkan terjadi peningkatan 7,4 persen.
Melihat antusiasme pasar terhadap pertalite maka Pertamina pun menambah jumlah SPBU yang melayani Pertalite. Dari total 6.545 SPBU yang ada di Indonesia, 5.112 di antaranya melayani Pertalite dan 4.455 melayani Pertamax.
Jika misalnya alasan bensin premium dibatasi karena kadar oktan 88 dianggap sudah tidak layak dijual maka sebaiknya Pertamina dan pemerintah melakukan intropeksi mengapa bensin berkualitas buruk tersebut tetap diburu, apakah karena berkaitan dengan daya beli masyarakat.