Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Batik Diapresiasi, Diminati, dan Ditantang untuk Lestari

26 Mei 2017   09:09 Diperbarui: 26 Mei 2017   09:50 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batik indigo diminati oleh negara Jepang dan negara-negara benua Eropa (dokpri)

Kecintaan masyarakat terhadap batik kembali tumbuh sejak diakuinya batik sebagai “Budaya Tak Benda Warisan Manusia”oleh UNESCO. Pasca penetapan tersebut batik tidak lagi asing digunakan sebagai seragam di sekolah dan perkantoran. Kontribusi batik terhadap perekonomian kemudian juga tak kalah besar. Namun, masih ada pekerjaan rumah terkait batik, yaitu terkait dengan tantangan untuk melestarikannya agar tetap eksis. Kiprah batik sebagai kebanggaan bangsa Indonesia di pasar domestik dan global, falsafah, dan tantangannya dibahas dalam forum Kafe BCA VI, Selasa (23/5) di Menara BCA dengan tema “Khasanah Batik Pesona Budaya”.

Batik  merupakan karya seni orisinal dan memuat perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Dalam setiap helai kainnya, batik memiliki makna filosofis dalam setiap motif, desain, dan teknik pewarnaannya yang melambangkan kearifan lokal bangsa Indonesia.  Menurut Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, batik merupakan kebudayaan luhur yang harus menjadi milik kita sendiri.

Ia teringat akan masa kecilnya dimana diperkenalkan dengan batik sejak dini. Neneknya saat itu konsisten mengenakan batik. Sekolahnya saat SD juga mewajibkan murid-muridnya mengenakan batik. Meskipun batik saat ini mulai kembali dilirik, namun masih ada tantangan untuk meneruskan kecintaan terhadap batik ke generasi penerus. Ia sangat mendukung upaya-upaya untuk menjaga eksistensi batik karena merupakan representatif daerah, dimana tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Ia memuji upaya Budi Mulyawan untuk merekam pengetahuan akan batik itu dalam wujud buku berjudul “Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa”, sehingga pengetahuan akan batik itu bisa dibaca dan diketahui oleh masyarakat dan generasi mendatang, serta menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia.

Para narasumber Kafe BCA VI (ki-ka) Rektor Unikal Suryani, Ketua Yayasan Batik Indonesia Nita Kenzo, Presdir BCA Jahja Setiaatmadja, Direktur Edukasi & Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri, dan moderator acara (dokpri)
Para narasumber Kafe BCA VI (ki-ka) Rektor Unikal Suryani, Ketua Yayasan Batik Indonesia Nita Kenzo, Presdir BCA Jahja Setiaatmadja, Direktur Edukasi & Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri, dan moderator acara (dokpri)
Buku tentang Batik Pekalongan akan menambah khazanah pengetahuan akan batik dimana bisa dibaca dan ilmunya diwariskan (dokpri)
Buku tentang Batik Pekalongan akan menambah khazanah pengetahuan akan batik dimana bisa dibaca dan ilmunya diwariskan (dokpri)
Selain dukungan penuh BCA terhadap proses penulisan dan peluncuran buku tentang batik, dukungan BCA terhadap kelestarian batik dibuktikan dengan adanya program corporate social responsibility (CSR) yang mendukung Pekalongan agar dapat mempertahankan eksistensinya sebagai kota batik. Wujudnya berupa Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan, sebagai salah satu desa wisata binaan BCA. Bank ini juga mewajibkan penggunaan seragam batik kepada seluruh karyawan pada hari tertentu, yakni Batik Hoko BCA, yang bekerja sama dengan perajin batik di Pekalongan.

Pekalongan seperti halnya Jogjakarta tidak bisa dipisahkan dari batik. Kota Pekalongan mendapat julukan sebagai kota batik karena terdapat 12,475 unit industri kecil menengah dimana menyerap 88.670 tenaga kerja.

Tentang peluang batik pada era masa kini ini diakui Direktur Edukasi &  Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri sangat besar. Pasalnya hasil kerajinan bangsa Indonesia ini sudah diakui dunia akan tingkat kerumitan pengerjaannya dan hasilnya yang elok. Nilai ekspor batik dan produk batik pada tahun 2015 mencapai US$178 juta dimana meningkat 25,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak negara yang menyukai batik dan produk batik Indonesia, seperti  Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa.

Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri menjelaskan tentang perbedaan ketiga jenis batik dan nilai ekonomisnya (dokpri)
Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Bekraf Poppy Savitri menjelaskan tentang perbedaan ketiga jenis batik dan nilai ekonomisnya (dokpri)
Namu,n yang membuat Poppy merasa was-was, pengetahuan batik di kalangan masyarakat awam rupanya masih rendah. Sebagian masyarakat sebagai konsumen belum bisa membedakan mana yang termasuk batik tulis, batik cap, dan batik printing. Di antara ketiga jenis batik tersebut, yang sebenarnya baru bisa disebut batik adalah batik tulis dan batik cap, sedangkan batik printing sebenarnya adalah kain biasa yang meniru corak batik. Batik jenis terakhir ini cukup banyak beredar di pasar dan umumnya berasal dari negara lain. Oleh karena sifatnya yang produk massal maka harga batik printing rata-rata lebih terjangkau.

Di tengah persaingan produk ini Poppy yakin batik tulis dan batik cap akan tetap lestari dan diminati jika masyarakat telah teredukasi akan nilai-nilai yang tertera dalam sehelai batik. Motif dalam batik memiliki makna tersendiri dan coraknya disesuaikan dengan tahap kehidupan yang dilalui.

Perbedaan batik cap dan batik tulis (dokpri)
Perbedaan batik cap dan batik tulis (dokpri)
Agar industri batik di Indonesia tetap tumbuh subur, Bekraf memiliki tantangan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelaku kreatif di industri batik. Salah satunya yaitu dengan pembentukan ekosistem desa kreatif, bekerja sama dengan BCA. Program Bekraf tersebut yang sudah berjalan sejak 2016 adalah IKKON (Inovasi dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara) yang merupakan program menempatkan seseorang atau pelaku kreatif pada suatu daerah untuk mendorong pengembangan potensi ekonomi lokal. Program ini berhasil mendorong Batik Salem di Brebes untuk tampil di permukaan dengan motif khas berupa tanaman dan hewan yang menunjukkan keindahan alam. Batik juga bukan hanya diwujudkan dalam bentuk busana namun juga benda fungsional seperti hiasan interior.

Galeri Batik Jawa Mengubah Kekunoan Menjadi Kekinian

Sesuatu hal yang dianggap kuno diubah Nita Kenzo, pemilik Galeri Batik Jawa, menjadi nampak kekinian. Menurut Nita, warna pertama pada batik adalah warna biru. Warna biru ini didapatkan dari pasta tanaman nila yang juga disebut tanaman indigo. Tanaman ini sudah dikenal sejak jaman dulu untuk pewarnaan batik. Warna alami ini memiliki kelebihan yaitu warnanya kuat dan tidak mudah pudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun