Mengolah air baku menjadi air layak minum tidaklah mudah, apalagi di Jakarta yang sungainya memiliki kandungan deterjen, mangan dan amonium tinggi dari limbah domestik. Untuk itulah digunakan teknologi yang menggunakan mikroorganisme alami yang dapat melawan polutan. Implementasi teknologi Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) ini disebut sebagai teknologi pengolah air baku pertama di Asia Tenggara yang memanfaatkan mikroorganisme alami. Pada Kompasiana Visit ke Instalasi Pengolahan Air PT PAM Lyonnaise Jaya (IPA Palyja) Cilandak, Rabu (7/12), kompasianer diajak melihat langsung penerapan teknologi MBBR.
Teknologi MBPR telah disinggung pada acara perdana Palyja mengundang kompasianer, yakni pada bulan Maret 2016 di Instalasi Pengolahan Air 1 di Pejompongan. Teknologi ini mulai diterapkan pada tahun 2015 di instalasi pengolahan air baku kanal banjir barat. Selanjutnya juga diterapkan di IPA Taman Kota dan IPA Cilandak untuk mengolah air baku dari sungai Jakarta yang berpolutan.
Pemanfaatan mikroorganisme alami dalam pengolahan air sudah diterapkan Palyja sejak tahun 2015 di Kanal Barat
Hingga saat ini sebagian besar air baku Palyja berasal dari luar Jakarta. Hanya sekitar 5,7 persen yang berasal dari Jakarta. Itu pun hanya dua sungai dari 13 sungai di Jakarta yang airnya masih bisa diolah, yaitu Kali Krukut (4%) dan Cengkareng Drain (1,7%). Kesebelas sungai lainnya memiliki kadar polutan yang sangat tinggi yang berasal dari limbah domestik.
Mengapa Palyja menerapkan teknologi MBBR? Hal ini dilatarbelakangi oleh kapasitas air baku yang cenderung menurun, terutama yang bersumber di Jakarta. Sungai di Jakarta semakin dangkal dan kadar polutannya semakin tinggi sehingga makin sulit dan makin mahal jika diolah dengan teknologi konvensional. Berdasarkan studi PAM Jaya, ketahanan air di Jakarta berkisar tiga persen sehingga terjadi defisit air bersih berkisar 9100 liter per detik. Selain tantangan pengolahan air baku, tantangan lainnya adalah permasalahan kehilangan air (non revenue water) dan intrusi air laut dikarenakan penggunaan air tanah secara berlebihan.
Melihat Proses Pengolahan Air dengan MBPR di IPA Cilandak
Seperti halnya kompleks IPA 1 Palyja di Pejompongan, memasuki IPA di Cilandak, Jakarta Selatan kompasianer disambut dengan pepohonan rindang yang kontras dengan padatnya perkantoran di kawasan Simatupang. Mata rasanya langsung nyaman melihat banyaknya pepohonan rindang.
Selamat Datang di IPA Palyja Cilandak
IPA Cilandak ini menempati area seluas 95.367 meter persegi dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1977. Hingga tahun 1998, kapasitas produksi IPA Cilandak sebesar 200 liter per detik. Dengan adanya
plant UCD 720 (
Unit Compact Degreemont) atau yang biasa disebut
plant baru maka kapasitas produksinya bertambah hingga total mencapai 400 liter per detik. Saat ini IPA Cilandak beroperasi 24 jam non stop untuk melayani kebutuhan pelanggan di kawasan Jakarta Selatan, yaitu sepanjang jalan TB Simatupang, Mampang, Kemang hingga Tebet Pancoran.
Pak Rizky Darmadi, Kepala IPA Cilandak sibuk meladeni pertanyaan kompasianer
Sambil melihat proses, kompasianer aktif bertanya
Air baku IPA Cilandak berasal dari Kali Krukut. Saat saya melihat wujud sungai yang berada di bagian belakang, saya menghela nafas. Airnya cokelat, nampak dangkal karena sedimentasi tinggi, dan penampang sungainya tidak terlalu lebar. Sungai ini selain berpolutan juga mengangkut sampah. “Sampah dari Kali Krukut ini sekitar enam kubik per hari,” ujar Pak Rizky Darmadi, Kepala IPA Cilandak. Bahkan saat banjir, lanjut ia, pernah dijumpai bangkai hewan.
Kali Krukut yang cokelat dan kaya polutan
IPA Cilandak ini sebenarnya didesain untuk mengolah air baku secara konvensional. Namun jika tetap menggunakan cara konvensional maka akan sulit untuk mengolah air baku berpolutan tinggi, khususnya amonium dari limbah domestik, karena sifat unsur tersebut yang larut dalam air. Oleh karena kandungan polutan Kali Krukut yang semakin tinggi pada tahun 2015 maka kapasitas produksi IPA Cilandak diturunkan hingga 50 persen. Namun, setelah mengadopsi teknologi MBBR sejak awal 2016, maka kapasitas produksinya perlahan-lahan kembali normal. Hingga bulan Desember proyek teknologi MBBR di Cilandak mencapai 95 persen.
Rumah mikroorganisme alami
Air baku dari Kali Krukut ini sebelum diolah dilakukan proses
screening sampah secara otomatis dan manual. Setelah itu baru dilakukan proses prasedimentasi satu dan dua. Teknologi yang memanfaatkan mikroorganisme alami bekerja di proses prasedimentasi untuk mereduksi kadar konsentrasi polutan terutama amonium hingga 70 persen.
Kompasianer melihat-lihat proses pengolahan air di plant baru
Di sini kami diajak melihat area MBBR. MBBR yang terbuat dari plastik merupakan rumah bagi bakteri alami. Sebenarnya selama ini bakteri ini ada di dalam, namun sekedar numpang lewat karena mati terkena klorin, jelas Pak Rizky. Dengan adanya rumah tinggal ini bakteri yang bekerja memakan polutan hanya perlu diberi asupan oksigen terlarut sebesar 5 mg/L dari sistem aerasi yang menggunakan
blower. Dari hasil uji coba laboratorium, kadar deterjen amonium dan mangan telah berkurang sekitar 70 persen.
Lihat Vox Pop Selengkapnya