Era 2.0 di dunia media dan kemudian diikuti era media sosial membawa perubahan baru bagi masyarakat. Yang dulunya unek-unek hanya diungkapkan lewat obrolan di warung kopi atau di meja makan, kini segala yang terlintas di benak bisa disuarakan lewat tanggapan di berita, forum, di blog pribadi ataupun melalui status di media sosial. Sayangnya pada era media sosial ini opini tersebut mengalir begitu saja tanpa disaring dulu, tanpa dipahami dulu konsekuensi dari pendapatnya jika dibaca oleh orang banyak.
Tok...tok...tok. Di era serba keterbukaan saat ini tidak perlu mengetuk pintu atau mengucapkan 'permisi' dulu untuk menyuarakan pendapat.Tinggal ketak-ketik opini dan kirim, maka opini tersebut dibaca oleh seluruh dunia. Mungkin nasihat 'Hati-hatilah dengan omonganmu, mulutmu adalah harimaumu', ada benarnya. Karena opini di media sosial tersebut bisa mempengaruhi tindakan orang-orang yang membaca status tersebut. Dan, bukan hanya kawanmu yang membaca, seluruh warga dunia bisa mendengarmu.Â
Beberapa waktu lalu ada berita yang menuliskan adu jotos yang terjadi setelah perang caci-maki di media sosial (sumber disini). Saat menjelang Natal dan kemudian saat terjadinya penyitaan makanan dari warung yang buka saat siang hari bulan puasa di Banten, terjadi perang opini di media sosial dan berbagai forum. Banyak dari opini tersebut yang menggunakan kata-kata kasar dan menghina agama satu sama lain. Yang tidak mendukung pendapat mayoritas pun kemudian di-bully habis-habisan.
Berita terakhir yang memilukan ketika terjadi pembakaran wihara beberapa waktu lalu di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Rupanya hal tersebut disulut dengan sebuah status di facebook (sumber di sini). Akibat ulah provokator di media sosial maka terjadi huru-hara, mengerikan.
Dengan melihat situasi tanah air di beberapa tahun terakhir, saya merasa sebagian masyarakat Indonesia belum mampu berdiskusi secara sehat dan lebih menurutkan emosi. Mungkin karena sebagian menganggap tidak ada yang mengenal dirinya secara nyata karena menggunakan akun palsu atau merasa berbicara dengan mesin, maka mereka bebas berpendapat apa saja. Media sosial seolah menjadi tempat luapan sumpah serapah dan caci-maki.
Apa tidak capek ya mendengar kata-kata kasar setiap saat? Saya sendiri merasa lelah jika membaca sesuatu yang kasar karena seolah menebarkan energi negatif dan menyedot energi positif.
Mengeluarkan pendapat itu dijamin Undang-undang, namun bukan berarti setiap orang dapat menyuarakan sebebas-bebasnya karena ada norma dan peraturan yang melekat. Indonesia sudah dari dulu dikenal sebagai bangsa yang santun sehingga adab berbicara tersebut sepatutnya juga dibawa ke ranah maya.
Selain itu juga ada UU no 11/2008 ITE dan surat edaran SE/06/X/2015 tentang Hate Speech (Ujaran Kebencian) yang mengatur tentang larangan mengeluarkan pendapat yang menghasut kebencian.kepada induvidu dan komunitas berdasar suku, agama, dan ras dll.
Keragaman Itu Patut Dirayakan, Bukan Dimatikan
Di antara negara-negara di dunia, Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki beragam agama dan semuanya hidup secara damai. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Selain agama resmi tersebut juga ada aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki banyak pengikut.
Bagi saya keragaman itu indah dan itulah kekayaan bangsa Indonesia. Sudah bertahun-tahun Indonesia hidup dengan keberagaman tersebut dan selalu damai sehingga banyak negara yang kagum akan toleransi yang tumbuh secara alami tersebut.