[caption caption="Stasiun Palmerah yang Terus Berbenah dan Makin Cantik dan Nyaman"][/caption]
Berbicara tentang KA Commuter Jabodetabek (KCJ) atau yang biasa disebut komuter dan KRL, maka ada banyak hal yang asyik diperbincangkan. Mulai dari fasilitasnya yang makin lengkap dan nyaman, harga tiketnya yang beberapa kali berubah, perilaku penumpangnya, hingga kisah ‘horor’ di gerbong perempuan saat jam berangkat/pulang kerja.
Dulu naik komuter itu rasanya was-was. Ada banyak kisah yang ditularkan dari mulut ke mulut dimana meruntuhkan mental untuk mencobai komuter Jabodetabek, dari yang was-was salah naik terutama di Manggarai, kecopetan, desak-desakan yang tak manusiawi, pelecehan seksual, hingga penggunaan kartu yang membingungkan pada saat awal implementasinya. Namun rupanya beberapa di antaranya hanya mitos dan saat ini KCJ terus berbenah.
Alhasil KCJ saat ini semakin banyak peminat, bahkan sepanjang 2014 jumlah penggunanya mencapai total kisaran 206 juta atau berkisar 560 ribu pengguna komuter tiap harinya. Sangat signifikan juga jasa KCJ dalam membantu memindahkan warga Jabodetabek untuk bekerja dan bepergian. Selain berkat layanannya yang terus dibenahi, juga dilatarbelakangi oleh tingkat kemacetan sepanjang jalanan Jakarta yang makin menjadi-jadi.
Dulu sekitar tahun 2003 saya kali pertama mencicipi komuter dari Jakarta ke Bogor. Seorang kawan mengajak saya ke kebun raya Bogor sambil berkereta. Jika biasanya saya bepergian di Jakarta bersama sepupu dengan kendaraan pribadi, saat magang di Jakarta inilah saya merasakan transportasi umum ibukota. Di sepanjang Thamrin-Senayan dan Gatot Subroto, saya disuguhi pemandangan gedung-gedung tinggi dan mal yang keren. Tapi astaga alat transportasinya bikin saya melongo. Busyet kok bus-busnya, kopaja dan metro mini, kayak kaleng gini ya?
Saat diajak naik kaleng tersebut saya makin pucat. Sudah penuh tetap disuruh naik dan berada di dekat pintu, berpegangan seadanya. Kaleng sedikit oleng ke kanan karena penumpang yang lebih banyak di sisi tersebut. Laju kendaraannya seenaknya, berasa seperti naik rollercoaster. Saat masuk baju rapi dan wajah segar, saat turun dimana juga bikin deg-degan, wajah kuyu dan baju agak acak-acakan. Kayak ikan segar diasinkan, goda kawan.
Oleh karena sudah melihat bentuk bus yang mirip kaleng karat yang menjadi kawan perjalanan sehari-hari saat magang, saya tak begitu heran dengan kondisi KRL masa itu. Seingat saya belum ada jenis ekonomi-AC dan Ekspres,hanya KRL ekonomi saja.
Fiuhh melihat aliran penumpang yang masuk tak ada habis-habisnya membuat nyali saya ciut. Atap gerbong juga sudah penuh dengan penumpang yang gratisan. Rasanya sudah tak ada celah lagi. Saya menggeleng kepala ketika kawan mengajak saya masuk. Berikutnya mungkin agak lega, kawan pun mengangguk.
Hingga tiga kali kereta siap berangkat ke Bogor, saya masih was-was. Duh kapan penumpangnya menurun? Kok penuh melulu. Saat kereta berikutnya datang, kawan saya pun memaksa saya untuk masuk.
Astaga belum beberapa menit berhenti, gerbong sudah penuh. Suasana di dalam sesak dan agak remang-remang. Saya sedikit mendapat ruang tapi setelahnya nyaris tidak dapat bergerak. Sepanjang kereta berjalan saya hanya bisa berdoa dan menjaga keseimbangan karena tidak ada lagi pegangan yang tersisa. Itulah kesan buruk saya mencicipi KRL kali pertama.
Sekitar tahun 2008 saya baru kembali menggunakan KRL. Kali ini sudah ada kereta ekonomi-AC dan kereta ekspres. Fasilitasnya lebih baik dibandingkan awal saya naik KRL. Tapi kereta ekonominya tidak banyak perubahan. Atap gerbongnya masih penuh penumpang dan rasanya aneh di jam-jam yang seharusnya penumpangnya sudah menurun karena ahir pekan, tetap saja rame. Konon kawan saya pernah bercerita jika sebagian penumpangnya itu pencopet jadinya penumpangnya tetap segitu-gitu aja tidak ada penurunan signifikan. Hiih kawan saya pernah dicopet dan ia agak paranoid naik KRL ekonomi. Ia juga pernah menyaksikan bagaimana ponsel seorang penumpang dirampas dari jendela oleh penumpang yang berada di atap gerbong. Wah wah wah.