[caption id="attachment_366850" align="aligncenter" width="385" caption="Layar Tancap di HUT Kota Malang (Sumber: merdeka.com)"][/caption]
Tinggal di kota kecil dulu ada enaknya. Karena hiburan sedikit, segala hiburan yang tersedia gratis pun dinikmati dengan penuh suka cita. Tak terlebih dengan layar tancap. Tidak penting isi filmnya yang penting kami bisa menikmati hari dengan berkumpul bersama teman dan sanak famili sambil jajan bakso atau mengudap gula kapuk.
Layar tancap mengisi memori masa kanak-kanakku. Sekitar awal tahun 1990-an layar tancap masih sering digelar di kampung-kampung kota Malang. Biasanya diadakan di lapangan yang cukup besar sehingga muat untuk menampung banyak penonton.
Kehadiran layar tancap selalu kami sambut gembira. Bila ada layar tancap maka berarti kami bisa bermain-main di luar hingga pukul 7 atau 8 malam. Sudah cukup memuaskan. Masa itu memang segalanya nampak sederhana. Hiburan hanya berupa saluran radio dan televisi yang hanya diisi satu stasiun teve.
Bersama para tetangga dan paman, kami bertiga pun menuju tanah lapang yang ada di depan sebuah sekolah dasar. Wow ada banyak penjual makanan. Lirik ke kiri ada gulali, lirik ke kanan ada bakso dari tepung tapioka yang dicocol dengan saus yang merah. Hemmmm. Mata saya belum puas. Di bawah pohon nampak tukang bakso pikul. Kali ini baksonya beneran dari daging sapi bukan hanya dari tepung tapioka. Tak jauh dari tukang bakso, ada penjual kacang goreng, kacang rebus, dan gula kacang - kacang berbalut gula merah. Ada juga es sirup dan penjual gula kapuk. Saya menghitung uang saku dari ibu dan kesulitan untuk menentukan pilihan.
Kedua kakak saya juga sepertinya mengalami dilema seperti saya. Kakak kedua langsung bergabung bersama teman sebayanya dan sudah asyik bermain bentengan. Kakak pertama kemudian meminta ijin kepada paman selaku pendamping kami dan ia pun menggandeng saya menuju penjual gula kapuk. Kami berdua akhirnya hanya mendapatkan gula kapuk dan es sirup karena uang saku sudah tak tersisa. Kakak kedua masih asyik bermain, kali ini bermain bola.
Layar tancap sudah dimulai. Layarnya sangat besar dan ada banyak tikar yang disediakan bagi para penonton. Saat itu saya terpukau, gambar-gambar yang muncul lebih besar daripada yang saya tonton di rumah. Sayang suaranya tidak jelas, kemresek. Gambarnya juga kadang-kadang hilang. Saya tidak tahu apa jalan ceritanya. Penonton di belakang asyik ngobrol sendiri. Setelah gula kapuk dan es sirup habis tak tersisa saya merasa mengantuk. Kami pun pulang. Ingatan yang terekam hanya banyaknya penonton, banyaknya penjual, dan asyiknya jajan sana-sini.
Setelah itu masih ada beberapa layar tancap yang dihelat tapi saya tidak ingat. Tahun 70 dan 80-an adalah masa-masa jaya layar tancap. Koes Plus pernah juga melahirkan lagu berjudul Layar Tancap, demikian pula Benyamin S. Dan pada awal 90-an menjadi masa-masa mulai tenggelamnya kejayaan layar tancap. Rupanya kehadiran film-film impor yang tayang di bioskop juga mulai menancapnya beberapa saluran teve swasta membuat warga melewatkan akhir pekan bersama-sama sahabat ke bioskop atau duduk manis di depan teve.
Memori tentang serunya layar tancap masih tertanam di benak sebagian orang. Meskipun jaman sudah modern, masih ada pengusaha layar tancap yang eksis dan mulai muncul komunitas yang menggiatkan acara layar tancap sejak 2011. Bahkan kemudian diluncurkan Bulan Layar Tancap yang diadakan setiap bulan Mei.
Sebenarnya apa sih layar tancap itu? Dan apa bedanya dengan menonton layar proyektor di aula atau nonton di bioskop. Tentu ada bedanya. Sesuai dengan istilahnya, layar dan tancap, maka berarti layar sebagai media ditaruh di tiang yang ditancapkan ke tanah. Karena ditancapkan di tanah maka acaranya dihelat di tempat terbuka, umumnya di tanah lapang. Acaranya juga cuma-cuma dan tanpa batasan penonton sehingga diupayakan filmnya bisa ditonton segala umur.
Bagi masyarakat pecinta layar tancap, acara menonton di tempat terbuka itu selain seru juga memiliki nilai lebih untuk mempererat kebersamaan para warga. Layar tancap juga menjadi hiburan alternatif yang murah.
Itulah alasan lahirlah komunitas dan penggiat acara layar tancap yang mulai marak belakangan ini, seperti Hysteria dengan 'Gerobag Bioskop'-nya yang memutar film di kampung-kampung; Komunitas Buleut yang memiliki program 'Bioskop Keliling', mengadakan layar tancap setiap tiga bulan sekali dengan pilihan film edukatif dan menghibur; Cinema Lovers Community yang memutar film pendek buatan pelajar dengan format layar tancap di desa-desa Banyumas; MAFI Fest yang menggelar layar tancap pada HUT kota Malang April lalu; dan masih banyak lagi.
Coba lirik tempat tinggalmu, siapa tahu para warga antusias diadakan layar tancap saat memperingati tujuhbelasan.
Malam minggu malam libur
malam panjang
Iseng-iseng nonton
film layar tancap...
(Layar Tancap- Benyamin S.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H