Isteri dalam kehidupan rumah tangga kerap kali menjadi korban kekerasan pada hubungan rumah tangga, walaupun KDRT dapat terjadi pada siapapun, tanpa memandang ras, usia, gender, agama, status sosial, dan tingkat edukasi. Korban dari tindakan KDRT tidak hanya istri tetapi termasuk anak- anak dan anggota keluarga lain yang berada dalam rumah tangga tersebut.
Namun, pada realitanya angka korban kekerasan dalam rumah tangga yang paling tinggi terjadi pada perempuan. Istilah kekerasan digunakan sebagai gambaran perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), tindakan yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 merupakan setiap perbuatan atau tindakan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan sendiri bisa berbentuk seperti tindakan dan perampasan hak kebebasan yang bisa atau mungkin terjadinya kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik, seksual, dan mental.
Tingkat KDRT yang setiap tahunnya cenderung meningkat menandakan bahwa para korban sudah mulai menyadari bahwa tindak KDRT bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi, sehingga korban memiliki hak untuk memperjuangkan hidup aman dan lebih baik. Semakin banyak korban yang berani mengutarakan semakin banyak pula data yang terungkap, sehingga hal ini bisa ditangani oleh pemerintah.
Komnas Perempuan Indonesia mencatat terdapat 259.150 kekerasan terjadi kepada perempuan sepanjang 2016. Kemudian, sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia.
Catatan mengenai kekerasan terhadap perempuan ini dikeluarkan oleh Komnas Perempuan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret. Tidak hanya itu pada tahun 2021 kemarin, catatan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, tercatat sekitar 3.211 perempuan menjadi korban KDRT.
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh pasangannya sendiri. Hal ini berarti bahwa sekitar 30 persen perempuan pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan itu.
Mengapa Perempuan cenderung menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ?
Banyak sekali faktor yang menjadi alasan mengapa perempuan kerap menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga. Salah satunya yang terjadi karena adanya dominasi gender pada sistem keluarga. Menurut sebuah penelitian di SAGE Journals, dominasi laki-laki dalam sebuah hubungan kerap kali menjadi pemicu kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga mereka.
Sedangkan, pengertian keluarga sendiri menurut E.S. Bogardus merupakan “The family is a small social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons”.