Sudah lama aku mengamatinya dari jauh. Aku bersembunyi di balik rerimbunan semak. Mengagumi indah bunganya. Bukan mempesona seperti Mawar. Bukan pula malu-malu seperti Melati. Bunga ungu kecilnya terlihat cantik, namun rapuh. Aku sangat ingin melindungi bunga-bunga itu. Sungguh, Ia adalah Bunga kenikir yang cantik.
***
Seorang anak gembala berlarian dengan riang. Mengedarkan pandangan  ke seluruh sudut padang rumput. Langkah kaki membawanya ke bawah pohon besar dekat  Kenikir. Si anak gembala duduk berteduh di bawah pohon. Menyanyikan sebuah lagu indah. Kulihat Kenikir kesayanganku itu bergoyang menikmati lagunya. Aku cemburu. Bungaku terpikat pada nyanyian anak gembala.
Sejak saat  itu, Ia terlihat bahagia. Hari-hari diisi dengan menanti anak gembala datang membawa nyanyian. Aku tetap disini. Mengawasinya, dari balik rerimbunan semak. Menahan rasa sakit saat melihat Ia berbahagia bukan karenaku.
***
Sore menjelang. Saat kulihat si anak gembala beranjak dari duduknya. Mendekati Ia yang wajahnya berbinar. Hatiku berdegup menanti apa yang akan dilakukan anak gembala itu pada bungaku.
Jerit lolong pilunya menggores hatiku. Ketika ternyata, si anak gembala memetik paksa bunganya. Membawa bunganya pergi sambil bersenandung riang. Kenikir tertunduk sedih. Aku marah pada anak gembala itu. Namun aku lebih marah pada diriku, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk Ia, kenikir kesayanganku. Aku harus menunggu malam datang dulu, sebelum kuberanikan diri menemuinya.
***
Malam itu aku menemuinya. Sedih masih bergelayut di wajahnya. Ia masih meratapi bunganya yang hilang.
"Mengapa kau bersedih?" tanyaku menyapa.
Ia terlihat ragu-ragu sebelum akhirnya menjawab.