Beberapa waktu lalu, saya pernah ikut tur yang diadakan mahasiswa jurusan sejarah Universitas Malang. Â Ikut tur heritage seolah sudah menjadi rutinitas saya. Ya, anggap saja dengan ikut acara-acara seperti itu sebagai hiburan di akhir pekan. Selain sebagai refreshing dan minat saya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, tetapi juga sebagai bahan riset yang sewaktu-waktu mungkin saya butuhkan.
Setidaknya ada tiga tempat yang akan dikunjungi; pemakaman Sukun, Kayutangan, dan Museum Mpu Purwa. Kayutangan, pusat pertokoan era kolonial sudah sering saya lewati dan kunjungi. Sementara Museum Mpu Purwa belum sama sekali. Terakhir ke sana, saya hanya sampai di tempat parkiran karena museum masih ditutup karena pandemi corona. Setelah itu, saya tidak berhasrat lagi ke sana, khawatir masih tutup mengingat jarak dari rumah saya ke museum lumayan jauh.
Tentu bukan kedua tempat tersebut sebagai alasan kuat saya mengikuti tur. Ya, Pemakaman Sukun  menjadi  hal yang paling menarik perhatian saya. Bagaimana enggak, dari dulu saya sudah ngebet pengen ke sana cuman enggak ada link dan enggak tahu caranya. Belum lagi ada teman yang bisa diajak ke sana, hehehe.
Dengan mengeluarkan 50 ribu sebenarnya saya tidak berekspektasi lebih terhadap kegiatan yang saya ikuti. Mengapa? Selain baru pertama kali ikut dan sekedar tahu personel panitianya, tujuan utama ikut tur ini tak lain tak bukan adalah bisa masuk ke Pemakaman Sukun. Dinamakan Pemakaman Sukun karena area makam ini berada di Kecamatan Sukun, Kota Malang. Meskipun pemakaman ini peninggalan kolonial, jangan berharap pengunjung akan menemui makam-makam mewah dengan bentuk obelisk atau prasasti karena makam ini mulai dibangun 1918.
Karena awalnya makam ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa seringkali masyarakat menyebutnya sebagai makam landha. Meskipun identik dengan kuburan orang-orang kulit putih, di pemakaman sukun juga terdapat bongpay. Saya pun menemukannya secara enggak sengaja saat hendak ke kuburan Renaldel de Lavalette, pendiri RS Lavalette. Bongpay tersebut sudah sangat tua dengan keterangan tahun lahir orang yang dikubur sekitar 1860-an dan tahun kematian sekitar 1920-an.
Di antara orang-orang terkenal yang dimakamkan di Pemakaman Sukun, terdapat satu nama yang sangat ikonik; Dolly van der Mart. Ya, nama perempuan yang sempat dijadikan lokalisasi di Surabaya itu dikubur di tempat ini. Sayangnya, peserta tur termasuk saya tidak diperkenankan untuk memotret makam Tante Dolly. Sebelum menjelajahi kompleks kuburan, kami memang sudah diwanti-wanti oleh penjaga untuk tidak memotret. Â Saat tiba di kuburan, tampak makam Tante agak Dolly 'rumbuk' oleh daun-daun kering. Sepertinya kurang terurus.
Lalu, ada siapa lagi di Pemakaman Sukun ini? Ya selain orang-orang Eropa dan tionghoa kaya (pada masa dulu), di sini juga dimakamkan para tentara Jepang yang tewas saat pertempuran. Biasanya seh tiap Oktober perwakilan komjen Jepang di Surabaya akan mengadakan upacara. Nah, pas tur kemarin pun saya sempat menyaksikan persiapan untuk upacara yang rencananya diadakan jam 1 siang.