Mohon tunggu...
Dewi Arimbi
Dewi Arimbi Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations - UPN "Veteran" Yogyakarta

International Relations Issue Culinary Treveling Life Style

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Hotel Rwanda: Kisah Pembantaian Suku Tutsi

31 Mei 2023   08:05 Diperbarui: 31 Mei 2023   08:55 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bacaterus.com/

Film Hotel Rwanda ini berlatar belakang pada sejarah peristiwa Rwandan Genocide atau Genosida Rwanda yang terjadi pada tahun 1994. Peristiwa ini merupakan konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda, Afrika Tengah. Etnis yang mengalami ketegangan yaitu etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pada Genosida Rwanda, yang terjadi ialah etnis Hutu yang berkuasa pada saat itu  menyerang etnis Tutsi dan memakan korban jiwa hampir satu juta jiwa. Perang sipil yang terjadi di Rwanda, Afrika Tengah ini menjadi pembicaraan kancah internasional. Peristiwa bersejarah ini menarik Keir Pearson dan Terry George menuliskan pada buku hasil karya mereka dan diangkat menjadi film.

Kejadian ini berawal di Kigali, 1994 seorang manajer hotel (Sabena Hotel de Mille Collines) yaitu Paul Rusesabagina yang merupakan seorang etnis Hutu menikahi seorang perempuan dari etnis Tutsi yaitu Tatiana. Sejak awal bisnis Hotelnya berjalan, ia bekerjasama dengan George Rutaganda sebagai penyalur kebutuhan hotel, yang merupakan pemimpin Interahamwe yaitu milisi brutal anti etnis Tutsi. George berusaha untuk membujuknya bergabung dengan kelompok tersebut namun Paul terus menolak ajakan tersebut. Sumber dari gesekan antar etnis ini memang sudah terjadi sejak lama namun pernikahan antara dua etnis ini menjadi faktor pendorong gesekan antara etnis Hutu dan Tutsi terlebih karena George juga mengenal Paul. 

Puncak kerusuhan ini terjadi ketika malam pembantaian dimana Paul mendengar dan bahkan melihat pembunuhan etnis Tutsi. Dalam kejadian ini Paul berupaya untuk melindungi keluarganya yang sebagian juga berasal dari etnis Tutsi, ia meminta bantuan Jenderal Angkatan Darat Rwanda, Augustin Bizimungu. Namun hal ini, tidak menjadi jaminan bahwa Paul dan seluruh keluarganya bisa selamat dari ancaman perang saudara ini. Akhirnya setelah bernegosiasi dengan Jendral ia memberikan seluruh uangnya  agar keluarganya dijaga keamanannya dan diantar ke Hotel dengan selamat. 

Namun suatu kejadian di Hotel membuatnya terkejut, ia justru menemukan salah satu staff nya yang seorang Hutu memanfaatkan keadaan dengan mengeksploitasi etnis Tutsi hingga mengancam istri Paul, untuk itu Paul tidak bisa berbuat apa apa dan membiarkan stafnya. Karena ancaman yang terjadi akhirnya PBB memutuskan untuk menarik warga asing dari Rwanda. Dalam kondisi ini PBB juga berupaya untuk menjaga warga Tutsi namun PBB juga merasakan kewalahan karena banyaknya ancaman dari Hutu hingga mengepung Hotel tersebut. Selain anggota PBB yang kewalahan, Paul sebagai pemilik Hotel juga merasakan demikian karena bertugas mengalihkan perhatian militan Hutu, serta merawat para pengungsi, melindungi keluarganya, dan menjaga Hotel bintang 5 itu untuk tetap berfungsi. 

Ketika Paul melewati sebuah jalan tepi sungai, ia melihat mayat-mayat orang Tutsi yang terbunuh. Georges, seorang pemimpin Interahamwe yang bekerja sama dengan Paul, sengaja meminta agar Paul melewati jalan tersebut untuk menyaksikan aksi kejam milisi Hutu dan Interahamwe. Setelah melihat kejadian itu, Paul kembali ke hotel dengan perasaan takut dan tidak percaya akan apa yang telah dilihatnya.

Pada suatu waktu, pasukan PBB mencoba mengevakuasi kelompok pengungsi termasuk keluarga Paul. Namun, Gregoire, seorang staf di hotel, mengkhianati mereka dan memberitahukan proses evakuasi kepada milisi Interahamwe, sehingga milisi tersebut menyerang kelompok pengungsi tersebut dan membuat semuanya harus kembali ke hotel. Setelah beberapa saat, proses evakuasi kembali dilakukan ketika ada konvoi PBB yang ikut, dan akhirnya Paul berhasil menyelamatkan setidaknya 1.200 pengungsi Tutsi dan Hutu, termasuk keluarga dan tetangganya. Tatiana juga dapat kembali bertemu dengan kedua keponakannya, meskipun tidak bisa bertemu dengan adik dan iparnya yang menjadi orang tua dari kedua keponakannya itu. Setelah perjuangan yang panjang, Paul meminta bantuan dari perwakilan media dan politisi asing untuk memberitakan dan menyebarluaskan kondisi di Rwanda kepada dunia internasional.

Genosida akhirnya berakhir pada bulan Juli 1994 setelah pasukan Tutsi Front Patriotique Rwanda (FPR) merebut kembali kekuasaan di Rwanda. Paul Rusesabagina dan keluarganya selamat dan berhasil melarikan diri dari Rwanda. Mereka pindah ke Belgia dan kemudian ke Amerika Serikat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun