Beberapa hari belakang, sebagai seorang ibu, hati sungguh miris menyimaknya banyak kejadian perundungan yang menimpa anak-anak. Korbannya anak-anak, pelakunya juga anak-anak.
Hampir semuanya terjadi di lingkungan sekolah. Setidaknya di lingkungan dekat dengan sekolah. Sebagian besar yang terjadi, anak-anak ini melakukan kekerasan fisik terhadap anak-anak lainnya.Â
Tidak perlu lebih dulu mengungkap motif anak melakukan kekerasan dan perundungan terhadap anak lainnya. Mari kita lihat respon dari orang dewasa yang ada di dekat mereka.
Kasus pertama yang disoroti yang terjadi di Gresik. Seorang anak usia 8 tahun yang mengalami kebutaan, diduga ditusuk tusukan bakso oleh temannya. Dari situ terungkap, si anak kerap dirundung sejak kelas 1 SD. Sedihnya, si anak tidak pernah membongkar kelakuan temannya ini pada orang tuanya.
Saya tidak tahu alasan si anak tidak terbuka pada orang tuanya ketika ia sering diperas temannya itu. Paling buruk, kemarahan si teman meraja hingga diduga menusuk mata korban.
Sebagai orang tua, saya mengerti reaksi ayahnya yang ternyata merupakan perangkat desa mem-viral-kan kasus yang menimpa anaknya. Sederhananya, menuntut keadilan untuk anaknya.
Di perjalanan perjuangan mencari keadilan untuk anaknya, banyak batu terjal yang harus ditaklukan. Dari berita yang saya baca, mulai dari rumah sakit yang menangani anaknya yang menyatakan tidak ada kekerasan hingga intimidasi dari pejabat publik yang ingin 'menenggelamkan' kasus ini.Â
Ditambah lagi pihak sekolah yang seakan-akan cuci tangan terhadap kasus yang menimpa siswanya ini. Pengalaman saya menemui kasus pidana baik itu perundungan atau pun kasus lainnya, dalih sekolah yang paling mudah menyebut bahwa kasus itu tidak terjadi di lingkungan sekolah sehingga sekolah tidak perlu bertanggung jawab.Â
Mau protes juga sulit. Tapi setidaknya, sekolah seharusnya terbuka dan bekerja sama menyelesaikan kasus ini.Â
Memang ini jadi semacam perusak imej yang sudah dibangun oleh sekolah. Tapi keterlibatan aktif sekolah menyelesaikan masalah menjadi poin plus bahwa sekolah tidak abai terhadap peserta didiknya.Â
Kasus kedua berkaitan dengan perundungan yang dilakukan siswa di Cilacap terhadap temannya. Si korban dipukuli hingga hampir pingsan. Karena aksi kekerasan direkam, yang kemudian diunggah ke media sosial, dengan mudah pihak kepolisian bisa menemukan pelakunya. Lagi, anak-anak melukai anak-anak.
Saat si pelaku anak ditangkap, dengan cara digiring ditonton publik, disoraki, bahkan dicaci maki. Mungkin itu bagian dari kekecewaan publik tapi publik sendiri, menurut saya, memiliki andil dalam menentukan masa depan si pelaku anak ini.Â
StigmaÂ
Akankah si pelaku anak jera? Saya tidak tahu. Tapi perjalanan ia mempertanggungjawabkan perbuatannya akan berat. Biasanya hakim akan mengembalikan anak pada orang tuanya. Dikembalikan artinya kembali bergabung dengan masyarakat.Â
Akankah masyarakat menerimanya kembali? Atau stigma si anak sebagai pelaku kekerasan akan melekat dan membuat ia menjadi tidak lebih baik dari saat ini?
Dalam kasus kekerasan dengan pelaku anak ini, publik seakan-akan jadi tim hore. Yang tertawa dan tepuk tangan saat pelaku anak dihukum. Lalu, meremehkan pertaubatan pelaku sehingga si anak tidak jadi orang yang percaya diri. Bahkan bisa saja dia membenci dunia dan seluruh isinya.Â
Goethe, seorang penyair Jerman mengatakan memperkirakan frekuensi kekerasan seksual "What is most difficult for you? That which you think is the easiest. To see what is before your eyes."Â
Dalam 30 tahun terakhir, para peneliti telah menemukan bahwa perundungan merupakan ancaman serius terhadap perkembangan anak dan merupakan penyebab potensial terhadap kekerasan dalam sekolah (Olweus, 1978, dalam Smokowski & Kopase, 2005).Â
Perundungan pada anak dianggap sebagai bentuk awal dari kekerasan yang terjadi di masa remaja dan dapat mewujud dalam suatu bentuk gangguan perilaku yang serius.Â
Perlu diakui, kebanyakan orang tua dan para guru merasa terkejut melihat betapa besar perbedaan antara generasi sekarang dibandingkan dengan generasi ketika mereka masih muda. Namun, bagi anak, pengalaman di sekolah sangat berpengaruh. Karena secara nyata, sesudah keluarga, sekolah memberikan pengalaman yang paling signifikan dan berpotensi mengubah kehidupan mereka.Â
Di sekolah, aksi perundungan lebih rentan terjadi. Sebagian anak yang menjadi target perundungan karena berasal dari latar belakang etnik, keyakinan, ataupun budaya yang berbeda dari kebanyakan anak di lingkungan tersebut.Â
Sebagian anak menjadi target karena memiliki kemampuan atau bakat istimewa. Tapi ada juga yang menjadi target karena memiliki keterbatasan kemampuan tertentu, misalnya mengalami kesulitan membaca atau kesulitan berhitung.Â
Masa-masa sekolah merupakan masa ideal untuk mengajarkan kemampuan manajemen konflik dengan jalan damai dan menanamkan nilai-nilai antikekerasan.Â
Ini berarti hal yang sangat penting untuk mengubah budaya kekerasan di dalam sekolah. Bukan untuk korban dan pelaku perundungan, tapi juga melibatkan semua elemen sekolah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H