Asmadi pernah bekerja di perusahaan katering. Namun, setelah mengalami kecelakaan, jiwa Asmadi terganggu. Asmadi sempat menjalani perawatan, tetapi hanya sepuluh bulan. Karena alasan ketiadaan biaya, pengobatan terhadap Asmadi terpaksa dihentikan.
Di Yayasan Galuh ada Ali (60), yang sudah jadi alumni. Ali memilih kembali ke yayasan dan menjadi juru masak bagi pasien-pasien di sana. Pria asal Tasikmalaya itu kecewa terhadap keluarga yang seharusnya menerimanya kembali setelah sembuh.
Sebelumnya, Ali dibawa ke Yayasan Galuh (dan menjalani pengobatan di sana) karena kerap mengamuk. Setelah berada di yayasan, terungkap bahwa sakit Ali disebabkan oleh perlakuan keluarganya. Dia merasa bahwa keluarganya mempermainkan dirinya dalam hal pembagian harta warisan.
Pada saat menjalani perawatan, tak pernah sekali pun keluarga mendampingi Ali. Pun demikian ketika dinyatakan sembuh dan kembali ke rumah, Ali malah beroleh perlakuan berbeda dari keluarga. Alasannya, karena pria itu mantan pasien sakit jiwa.
Ada dua orang lagi yang saya kurang ingat namanya. Yang satu anak usia 10 tahun yang selalu mengikuti kemana saja saya pergi di dalam lingkungan perawatan. Ia tidak pernah tahu siapa orang tuanya dan dari mana dia berasal. Ia menganggap semua perempuan dewasa sebagai ibunya. Tidak tahu latar belakang hidupnya, yang menyulitkan Baba Gendu di Yayasan Galuh mengobatinya.
Sedangkan yang pertemuan, saya temui sesaat dia baru tiba di Yayasan Galuh. Dia pasien 'segar' yang baru saja dibawa dari rumahnya. Ibu ini usianya sekitar 40 tahunan. Karena masih newbie, sebelah tangannya masih dirantai. Khawatir dia akan melarikan diri.
Saya duduk di sebelahnya. Mendengar ceritanya. Dia punya salon yang hasilnya dipakai untuk kehidupan sehari-hari keluarganya. Ia tidak pernah tahu, suaminya yang lebih muda darinya, sering mengambil uang untuk selingkuh.
Puncaknya, ketika uangnya habis, ia malah mendapati suaminya selingkuh. Ia mengamuk, menghancurkan isi rumah dan baru berhenti setelah warga menghubungi polisi. Dianggap gila, si ibu dijebloskan ke Yayasan Galuh.
Ya, bukan hanya badan yang harus dirawat. Tapi jiwanya juga. Merawat jiwa sebenarnya tidak sulit. Selain beribadah, merawat jiwa itu dengan membina hubungan baik dengan sesama.
Dalam keluarga, komunikasi yang baik harus terjalin. Tidak ada manusia yang bisa membaca isi hati dan kepala orang lain. Tapi dengan bertanya dan berbagi, beban dan penat dapat berkurang.
Misalnya bertanya kabar, tidak sekadar basa-basi. Itu juga menunjukkan perhatian Anda pada orang lain. Lalu, merawat jiwa Anda sendiri dapat dimulai dengan pertanyaan: sudahkah Anda bahagia hari ini? (*)