Waktu saya bertemu I Putu Sunarya, enam tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit jiwa di Bogor, usianya 29 tahun. Ia bersama rombongannya dari Bali berpartisipasi dalam sebuah kegiatan mirip dengan jambore. Tapi ini khusus untuk pasien rumah sakit jiwa.
Saya memilih duduk di lantai lorong rumah sakit. Tempat duduk yang saya pilih ini memiliki pemandangan yang paling baik untuk menyaksikan lomba yang pesertanya semuanya pasien rumah sakit jiwa. Sebenarnya, saat itu, saya sudah lelah karena dari pagi sudah datang tapi Ibu Mentri Kesehatan yang akan membuka acara belum juga hadir.
Saat itulah, Putu duduk spot yang sama. Ia pun lalu membuka percakapan dengan saya. Putu adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa yang hampir selesai masa pengobatannya.
Cerita Putu, perjalanan pengobatannya dimulai ketika dia merasakan kerasukan. Untuk mengusir "roh" yang memaksa ingin mengambil alih tubuhnya, Putu mengamuk hingga menghancurkan rumahnya.
Ketika sakitnya kambuh, lelaki yang bekerja sebagai mekanik itu beraksi bak ahli debus. Dia mencuci mukanya dengan minyak panas dan mengiris-iris pergelangan tangannya. Bahkan bisa membengkokkan besi bak pesulap kenamaan.
Keluarga yang menyadari adanya gangguan kejiwaan terhadap diri Putu lalu membawanya ke Rumah Sakit Jiwa Bali. Putu masih mengingat bahwa ketika dibawa, dia dalam keadaan terikat. Hal itu guna mengurangi dampak dari amukan Putu.
Selama dua pekan, dia berada di dalam ruang isolasi. Setelah dianggap tidak membahayakan, barulah Putu dipindahkan ke ruangan "biasa". Selama dirawat, keluarga rutin menjenguk Putu. Dia pun hanya dirawat selama tiga bulan dan selanjutnya menjalani rawat jalan.
Di tengah percakapan kami, Putu baru menyadari bahwa hampir setengah jam, hanya ia yang bicara. Sementara saya mendengarkan ceritanya. Rupanya ia ingin ada obrolan dua arah antara dia dan saya.
Ia kemudian menduga-duga siapa saya. Saat itu, senjata andalan saya, kamera dan catatan kerja memang berada dalam tas. Sekilas tidak ada yang berbeda antara saya dengan Putu. Tidak heran bila ia bertanya, "mba, dari rumah sakit jiwa mana?" Ha-ha-ha.
Ini bukan kali pertama saya berhubungan langsung dengan orang yang sakit jiwa. Di Bekasi, saat main ke Yayasan Galuh, saya sudah terbiasa melihat berbagai perilaku orang yang sakit jiwa.
Saya pernah bertemu dengan kakak beradik Asmadi dan Ahmad. Mereka dipasung. Kaki mereka diikat dengan rantai karena sering mengamuk sehingga mengganggu orang di sekitarnya. Bahkan, salah satunya pernah menusuk saudaranya sendiri dengan sebilah pisau.