Pelayanan jauh dari yang diharapkan.
Sering kita dengar teman-teman kita mengeluh jika merujuk pasien kebidanan atau pasiennya yang datang sendiri sering mengumpat : “Susah banget sih......”,bidannya judes banget sih....dan sebagainya... “, sehingga kita enggan untuk merujuk pasien ke RS,terutama ke RS yang notabene RS Pemerintah. Kita tidak tahu apa alasan mereka ( bidan di RS ) bersikap tidak ramah,malah kita kadang sering memvonis sikap petugas yang tidak ramah itu dengan sikap sinis. Padahal apa yang mereka alami kita tidak pernah tahu dan mungkin tidak ingin tahu. Oleh karena itu, saya ingin mencoba menelaah persoalan ini kenapa mereka melakukan hal itu, yang jelas sikap tidak ramah itu akan merugikan dan memperburuk citra mereka sendiri dan RS secara institusi.
Menurut Yaslis Ilyas (2013) Ada beberapa hal yang membuat mereka melakukan hal itu , diantaranya adalah
1.Beban kerja yang berlebih.
2.Tunjangan yang tidak sesuai dengan beban kerja
3.Tidak adanya reward yang memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik lagi.
4.Sistem punishment yang tidak membuat jera.
5.Kepuasan kerja.
6.Motivasi kerja .
Masih banyak lagi faktor-faktor yang membuat mereka(Bidan) melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan norma dan pelayanan prima yang diharapkan.
Pelayanan di RS khususnya RS Pemerintah masih jauh dari pelayanan public yang diharapkan masyarakat, adapun Pelayanan public diartikan sebagai kewajiban yang diamanatkan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan prima atau pelayanan yang berkualitas menurut Evans and Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dari sudut pandang konsumen, maka pelayanan prima selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/prima (excellent). Dari sudut “product based” maka pelayanan prima dapat didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variable pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk yang bersangkutan. Dilihat dari sudut “ user based”, maka pelayanan prima adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan.
Di era JKN ini banyak sekali masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan ini dengan harapan untuk mendapatkan pelayanan yang diinginkan, namun sering kali masyarakat mengalami kekecewaan dengan pelayanan petugas yang kurang menyenangkan. Hal tersebut sering kita temukan di rumah sakit – rumah sakit Pemerintah di negeri ini.
Sebagai contoh RS Pemerintah X yang SDM nya sangat tidak seimbang dengan jumlah pasien yang ada , menurut data RS X dalam sebulan rata-rata pasien kebidanan yang dilayani di UGD Kebidanan di RS itu kurang lebih 600-650 pasien/ bulan, apalagi sebelum adanya program BPJS yaitu Program Jampersal yang hampir semua pasien datang ke RS karena biaya melahirkan gratis, baik Persalinan Normal ataupun dengan Tindakan operasi, yang menyebabkan jumlah pasien meningkat tajam. Hal ini berarti perhari rata-rata pasien kebidanan yang akan melahirkan dengan berbagai kasus kebidanan antara 20-22 pasien dengan jumlah bidan pershift 3- 4 orang. Hal ini sangat tidak sesuai dengan jumlah pasien yang harus dilayani. Adapun total tenaga bidan seluruhnya di RS X tersebut hanya 45 orang yang tersebar di bagian-bagian lain seperti di UGD Kebidanan hanya 23 orang bidan , 3 orang bidan penanggung jawab, 20 orang bidan pelaksana. Hal ini jauh dengan jumlah perawat yang totalnya kurang lebih 851 orang tenaga perawat dengan kapasitas TT untuk perawatan umum adalah 600 TT dan 150 TT untuk perawatan ibu dan anak. Terbukti tenaga bidan hanya 5 % di RS tersebut, ironis sekali.
Setelah saya mengetahui hal tersebut , saya berpikir dan berpikir... kok bisa yah? dimanakah salahnya? apakah perencanaan SDM yang salah? Atau memang tenaga bidan dibatasi di RS Pemerintah? Saya sekali lagi mengerutkan dahi, kenapa yah seperti itu? Kok jauh sekali, dimana perhitungannya?.
Sehingga apa yang telah disebutkan diatas faktor pertama yang mempengaruhi sikap perilaku bidan yang tidak ramah terjawab yaitu faktor beban kerja yang overload dan tingkat stress yang tinggi, yang menyebabkan timbul respon sikap seperti itu .
Faktor ke dua adalah tunjangan, saat ini kita ramai membicarakan tentang tunjangan remunerasi yang jasanya bervariasi sesuai dengan beban kerja dan tupoksinya masing-masing. RS X telah memberlakukan sistem tersebut , dan menurut penilaian saya mungkin sesuai, tapi ternyata tidak menurut mereka, karena mereka mendapat tunjangan itu berkisar Rp. 2,1 juta sd Rp. 3 jt , diluar gaji dan uang makan. Hal tersebut membuat mereka merasa tidak seimbang, dengan jumlah SDM yang sedikit dan beban kerja yang tinggi,sehingga mereka merasa jasa yang diterima tidak sesuai. Saya tidak mengulik lebih dalam mengenai hal itu, bagaimana perhitungan jasa yang mereka dapatkan.
Faktor ke tiga adalah Tidak adanya reward yang memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik lagi. Reward bukan hanya dalam bentuk uang,hadiah ataupun lainnya, sebetulnya reward juga dapat diberikan dalam bentuk ucapan atau penghargaan yang sebetulnya tidak harus mengeluarkan dana yang banyak , reward seperti itu belum banyak diberikan oleh rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang ada di negeri ini.
Faktor ke empat adalah Sistem punishment yang tidak membuat jera (khususnya di RS Pemerintah). Banyak rumah sakit-rumah sakit yang memberikan punishment kepada karyawannya dengan memberikan surat peringatan yang disebut SP. Pada rumah sakit pemerintah umumnya Pegawai Negeri Sipil ( PNS ), sehingga baik tidak baik mereka bekerja tetap akan mendapatkan gaji dan tidak akan dikeluarkan, tidak seperti di rumah sakit swasta. Tetapi tidak untuk saat ini, dengan adanya Peraturan Pemerintah SDM NO. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil . Jadi punisment ini sudah jelas tinggal bagaimana komitment dari pihak rumah sakit untuk menerapkan hal tersebut.
Faktor kelima adalah Kepuasan kerja, artinya petugas tidak merasakan kepuasan kerja yang ingin mereka rasakan. Pada kasus RS X jelas tidak ada kepuasan karena beban kerja mereka terlalu berat dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan yang mereka lakukan dengan tingkat stress yang tinggi. Sehingga banyak dari mereka yang ingin mengundurkan diri dan pindah ketempat lain, baik ke instalasi lain maupun rumah sakit lain. Tidak sedikit tenaga honorer bidan di RS X tersebut yang keluar dengan tiba-tiba , karena tidak kuat dengan beban kerja yang dijalankan.
Faktor keenam adalah Motivasi kerja , artinya kurangnya motivasi kerja sehingga mereka melakukan pekerjaannya tanpa memikirkan dampaknya. Apa yang terjadi di RS X seringkali diakibatkan rasa lelah dengan rutinitas yang ada sehingga tidak termotivasi untuk melakukan inovasi-inovasi untuk pengembangan rumah sakit, yang kadang akhirnya menimbulkan kejenuhan sehingga perlu diadakan refreshing untuk penyegaran.
Jadi benarkah RSU kekurangan tenaga Bidan? jika kita melihat di RS X, jelas tenaga bidan sangat kurang karena hanya berkisar 5% dari tenaga medis yang ada, tapi saya tidak tahu di RS Pemerintah lainnya apakah sama atau tidak? sehingga pemandangan yang seperti diatas sering kita jumpai, seperti petugas yang tidak ramah, pelayanan yang tidak memuaskan akan selalu kita temui jika kebutuhan SDM tidak terpenuhi dengan benar dan perencanaan SDM tidak sesuai dengan kebutuhan.
Demikianlah tulisan ini saya buat dengan tidak ada niat sedikitpun untuk mendiskrimasikan salah satu profesi, hanya untuk share apakah kejadian seperti ini terjadi di RSU Pemerintah lainnya?? Dan semoga tulisan ini bisa membawa manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H