Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjual Penderitaan

5 Desember 2013   09:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:18 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman" Bayangkan, betapa kaya negeri ini sesungguhnya bahkan dengan tongkat kayu dan batu saja kita bisa melihat tanaman, menantinya tua dan akan siap untuk dimakan. Tapi sayang, tongkat kayu sudah dibikin furniture, batu sudah dibikin jadi bahan bangunan, tak ada lagi yang bisa tumbuh dengan mudah di negeri ini. [caption id="attachment_952" align="aligncenter" width="300" caption=" sumber : antarafoto.com"][/caption] Orang Indonesia tak banyak lagi yang bangga kepada Indonesia kini. Negeri hijau di bawah naungan khatulistiwa menjelma menjadi negara penuh luka karena penderitaan rakyat di dalamnya. Orang tak ingin berlomba menjadi yang terbaik di negeri ini, karena tak ada bedanya antara yang terbaik dan terburuk kalau hasil akhirnya adalah kemampuan mengisi perut untuk bertahan hidup. Mereka enggan menjual karya karena tidak ada buah fikir, mereka enggan menjual tenaga karena enggan lelah, mereka kemudian menjual penderitaan dengan belas kasihan yang dapat ditukarkan dengan uang.

Kawan, tentu bisa menebak maksud saya. Hitunglah berapa banyak jumlah orang yang tubuhnya kuat dan tegap namun pekerjaannya adalah menunggu kaleng atau berputar menengadahkan tangan.

Sedikit pasang muka memelas, wajah sengsara kemudian orang lewat akan menjatuhkan rupiah pada tempat penampungan rupiah miliknya. Enak benar!

Tetangga desa saya, seorang yang usianya sudah cukup tua, setiap pagi di antar lewat samping rumah saya dengan motor. Pernah satu waktu, sepupu saya bercerita ketika saya penasaran dengan kegiatan rutin itu. Dia bilang, sang kakek itu di antar ke pasar Wonogiri atau kadang pasar Jatipuro untuk mengemis.

Di daerah kos saya, di belakang Universitas Sebelas Maret. Bertebaran banyak sekali perempuan seusia ibu saya atau bahkan banyak yang lebih muda, dengan tubuh gemuknya, tubuh tegapnya pertanda bahwa dia sehat. Siapa perempuan itu? Ibu-ibu yang mendatangi pintu kos satu persatu, berteriak di depan pintu menjual penderitaan kepada anak-anak kos yang punya uang hanya dari orang tuanya. Ini banyak sekali. Dan pernah satu waktu, ketika di kos, kami jenuh dengan teriakan-teriakan dari depan pintu kos, kami enggan keluar dan kemudian kami mendengar umpatan pada beberapa detik berikutnya.

[caption id="attachment_951" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : dynamicofindonesia.blogspot.com"][/caption]

Pada sisi lain dari para penjual penderitaan itu, saya menemukan mereka yang enggan menjual penderitaan dan memilih memeras sisa-sisa keringat untuk menyambung hidup.

Saya pernah bertemu dengan seorang bapak parkir luar biasa di depan tempat makan daerah Jebres. (Mohon maaf) Beliau hanya punya satu kaki dan kaki lainnya adalah sebuah kruk. Jumat siang itu, bersama anak perempuannya yang kira-kira baru berusia 5-6 tahunan, si bapak menjaga parkir seperti biasa. Saat tiba shalat jumat, beliau membuka tas lusuhnya, dari sana ada sajadah dan sarung(kalau tidak salah). Sementara menyerahkan tugas menjaga parkir kepada gadis kecilnya, si bapak berangkat shalat Jumat, Sampai Jumat siang setelah shalat Jumat saya belum beranjak dari tempat makan, hujan nampak akan turun, saya masih setia memandangi gadis kecil itu. Ketika melihat hujan yang sudah mulai rintik, si kecil yang cantik itu menata sandal di depan warung makan yang kebetulan lesehan dan mewajibkan pembeli melepas sandal di depan warung itu. Saya sungguh trenyuh melihatnya. Terkebih ketika hujan deras turun, bersama bapaknya si kecil berteduh di teras sempit depan tempat makan itu. Anak itu menangis, saya tidak tahu sebabnya, tapi kemudian tangisnya berhenti ketika si bapak masuk warung membelikan sesuatu dan dia mulai makan dengan bekal nasi dari tas lusuhnya.

Pada scene lain kehidupan di negeri ini, saya bertemu sepasang kakek dan nenek penjual sapu di daerah kampus Universitas Sebelas Maret yang setiap hari berjualan sapu keliling kampus berdua. Dan sang kakek (maaf) buta, sedang ia berjalan dengan memegang pundak sang istri. Romantis bukan? Ini sangat mengagumkan, ketika yang sehat dan muda menjual penderitaan, beliau mau memeras keringatnnya di usia senja untuk bertahan hidup.

Yang lainnya, tentang perjuangan hidup. Kawan, pernah tahu jarak antara daerah Jumantono dan Surakarta, hampir 25 km. Pada jarak sejauh itu, saya kerap kali bertemu seorang kakek tua yang setiap pagi akhir-akhir ini dengan sepeda ontelnya dan dua keranjang berat digoncengnya. Sang kakek membawa dua keranjang mangga dari Jumantono untuk dijual keliling di daerah Surakarta.

Ada juga tentang seorang kakek penjual mainan di depan Matahari Singosaren, yang sampai sekarang kalau saya ke sana, mata saya masih mencari-carinya. Sederhana yang ia jual, hanya mainan seadaanya, mainan yang bahkan mungkin anak kecil jaman sekarang enggan untuk meliriknya. Beberapa dari kita, mungkin ada yang merasa keluar dari Matahari Singosaren, habis membelanjakan uang beberapa ratus ribu tak begitu terasa artinya atau kepuasannya, tapi barang 5 - 10 ribu bagi kakek ini, mungkin sangat bermakna sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun