Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saripetojo oh Saripetojo

11 Juli 2011   16:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310409005344922927

[caption id="attachment_122104" align="aligncenter" width="680" caption="Foto : Solopos"][/caption]

Catatan 11 Juli Si Pengagum Seni Langit Malam (bagian 1)

Mendengar kata “Saripetojo” mungkin sudah tidak asing lagi bagi anda (yang merupakan warga Solo). Insiden beberapa hari lalu yang sempat meledak, tak hanya di Solo namun kabarnya sampai ke daerah-daerah luar Solo, bahkan luar Jawa, tentunya insiden tersebut masih segar terekam dalam ingatan, ketika beliau, Gubernur Jawa Tengah mengatakan bahwa walikota solo itu bodoh karena berani menentang keputusan Gubernur Jawa Tengah untuk mendirikan mal di area bekas pabrik es Saripetojo. Jokowi, begitulah sapaan akrab walikota Solo ini menginginkan agar bangunan bekas pabrik es Saripetojo ini dijadikan cagar budaya. Disamping itu, Jokowi memang tidak mengingkan terlalu banyak mal yang berdiri di kota Solo. Semakin banyak mal yang berdiri, maka eksistensi pasar tradisional akan terancam pun begitu dengan perekonomian rakyat menengah ke bawah, begitulah alasan yang diusung beliau.

Bebarapa hari yang lalu, saya juga membaca tulisan-tulisan yang santer memberitakan soal Saripetojo ini di berbagai media cetak. Pun begitu, 6 Juli lalu saya menerima email berupa berita hasil liputan aksi mahasiswa yang terjadi di depan saripetojo dari salah satu teman saya di pers mahasiswa. Beberapa saat saya membaca berita yang ditulis teman saya dengan dan mencermati foto yang dilampirkannya, saya tangkap kesan bahwa mahasiswa-mahasiswa itu begitu ngotot menginginkan di pertahankannnya Saripetojo untuk dijadikan cagar budaya. Tidak lama saya langsung mengupload hasil liputan tersebut. bisa di baca di

http://lpmkentingan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=200:aksi-penolakan-pembangunan-mal-di-saripetojo&catid=44:kilas&Itemid=79

Apakah benar semua lapisan masyarakat menginginkan dijadikannya Saripetojo sebagai cagar budaya? Saya masih sangsi manakala beberapa hari berselang setelah membaca berita-berita tersebut, saya menemukan sebuah berita menarik di koran, di sana disebutkan, dari hasil penelitian, Saripetojo tidak pantas dijadikan sebagai cagar budaya, karena tidak memenuhi kriteria bangunan yang disebut sebagai cagar budaya. Lain lagi ketika saya membaca media online yang lain, disana disebutkan bahwa Saripetojo telah ditetapkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng sebagai cagar budaya dan baru diajukan kepada kemenbudpar mengenai hal tersebut.

Malam ini, mengatasi rasa penasaran saya, sengaja saya sempatkan menikmati udara malam Solo, sekaligus melihat Saripetojo malam hari. Gerbang Saripetojo sedikit terbuka, ketika seorang satpam baru saja masuk dengan motornya, saya ikuti dengan turut memasukkan motor saya ke dalam. Langsung, ketiga bapak-bapak yang berada di pos satpam menegur saya, sedikit berkilah ini itu, saya bilang penasaran dengan saripetojo dan ingin mengambil gambarnya dari dekat, tapi benar-benar saya tidak diijinkan.

Saya putuskan berbincang ringan dengan bapak berjaket coklat yang ternyata usut punya usut, beliau adalah salah satu mantan karyawan tetap di Saripetojo. Dari Bapak yang lupa saya tanyai namanya tadi dijelaskan alasannya tidak memperbolehkan saya mengambil gambar Saripetojo dari dekat adalah karena belum ada kejelasan status mengenai bangunan tersebut.

Lebih lanjut lagi, Beliau menceritakan Pabrik es yang sudah lama adanya ini tak lagi beroperasi karena bangkrut. Sementara kini eks karyawan tetap yang berjumlah 40 orang belum jelas nasibnya. Lantas ketika saya tanyai mengenai ajuan sebagai cagar budaya atas Bangunan tua tersebut, Menurutnya Saripetojo tidak pantas menjadi cagar budaya. Kenapa? “Ya masak bangunan kaya begitu mau dijadikan cagar budaya, Mbak. Mbak lihat sendiri kan, mana ada nilai estetikanya coba? Kalau dari nilai usianya mungkin iya, tapi kalau dari nilai estetika , ndak ada kan?”, begitulah dengan lantang tuturan si bapak.

Selanjutnya, Bapak ini menjelaskan bahwa jika pembangunan mal dilangsungkan, ke depannya akan lebih menguntungkan karena eks karyawan Saripetojo dijanjikan akan dipekerjakan di mal yang akan dibangun tersebut sesuai dengan keahlian masing-masing.

Lima belas menit hampir setengah jam berbincang santai dengan bapak ini, akhirnya saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan malam ini dengan menikmati malamnya langit solo yang tetap mengagumkan di mata saya. Sempat membuat terkekeh, ketika saya mengambil motor, si bapak berbisik pada teman saya menanyakan perihal saya kecurigaannya, “jangan-jangan saya ingin meneliti soal Saripetojo”. Mau saya jawab lantang : “Bukan Pak, saya Cuma penghuni Solo yang berharap hal terbaik untuk Solo” , tapi tidak usah sajalah.

(To be Continued next note : Seni Malam Punyanya Kupu-Kupu Solo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun