Dengan cinta aku dapat mencintai, dengan rindu aku dapat merindui dan dengan air mata aku akan mengobati deraian rindu dalam naungan cinta yang luar biasa itu. Manakala sebutir demi sebutir kemudian ia mengalir di wajahku, aku tersipu pada diriku, pada usiaku, pada kehidupan yang telah kujalani. Namun ketika aku berfikir bagaimana untuk menghentikan butiran bening yang terus mengalir itu demi menghindarkan rasa malu itu, ternyata aku tak menemukan cara lain yang lebih real dari cara yang sudah kutempuh itu.
Dan perbolehkanlah sekali lagi, sekali lagi untuk akhir malam ini aku melakukan hal yang sama. Mengijinkan setiap butiran air mata mengalir di sepanjang pipiku. Karena memang malam ini aku merasakan pisau-pisau kerinduan kembali menghujam jantung hatiku yang sebenarnya sudah ku ikat rapat-rapat agar tak sedikitpun kemudian ia menampakan materi-materi rindu yang kupendam. Tapi toh, seberapapun kuat aku mengikat pembungkus materi rindu itu, pisau kerinduan yang akan menghujamnya jauh lebih tajam, hingga belum sempat ia menghujampun, baru dengan sedikit goresan pisau itu, materi-materi rindu ini sudah muncul sedikit demi sedikit dalam setiap butiran yang kini mulai jatuh ke lantai.
Sungguh, aku manusia rapuh yang kalah oleh rindu. Maafkanlah, engkau sosok yang kurindui karena aku telah ingkar janji kepadamu. Aku telah ingkar janji untuk tidak akan menangis lagi pada setiap detik dimana aku mengingatmu, menginngat cinta dan kasihmu. Engkau mesti tahu, bahwa engkau sangat berharga bagiku, kau berharga dengan nafasmu, dengan suara syahdu, tatapan yang menyejukan, kasih yang tulus, peluh yang penuh keikhlasan dan setiap lakumu yang luar biasa itu. Lalu dengan cara apa aku harus mendapatkan alasan untuk tidak menangis ketika aku rindu padamu.
Lagi, aku sulit menyelesaikan apa yang kutulis saat ini pun karena kerinduan yang semakin menghujam. Aku harus bagaimana? Aku tidak tahu lagi, yang aku rasakan adalah Rindu. Sungguh, Ibu, aku merindumu. Aku merindu setiap detik dimana dulu ketika masa kecilku kau belai aku dengan cintamu, kau mandikan aku dengan kasih sayangmu, kau suapi aku dengan nasihat-nasihat bijak dan kau ajarkan aku tentang dunia dengan berbagai petuah, mulai dari dongeng kancil pengantar tidurku, dongeng cimpling dan cerita fantasi tentang bidadari serta pangeran berkuda putih. Semua masih tampak jelas pada layar besar ingatanku yang seolah kini muncul di pojok kamarku yang hampa.
Tidak mungkin memang jika aku mengharapkan untuk kembali pada masa-masa manis manakala aku masih dalam gandengan tanganmu, Bu. Kini aku sudah beranjak dewasa, melewati gerbang kehidupan yang harus aku tempuh dengan sepasang kakiku tanpa gandengan dan gendonganmu.Memalukan, katamu waktu itu Bu, jika aku masih menunjukan kesedihan dengan air mataku sementara di luar sana dunia yang begitu luas tengah menantangku untuk bertarung dan mengalahkan segala tantangannya.
Bu, sekarang ijinkan dulu puas ku urai tangisku sampai esok menjelang. Lalu mulai esok aku akan menghapus air mataku dan kembali menggunakan sepasang mataku untuk melihat adanya tantangan kehidupan yang harus aku taklukan kemudian aku akan menjadikan setiap penaklukanku itu menjadi sebuah kitab kenangan yang kemudian akan kuceritakan padamu suatu saat nanti Bu.
Bu, bekali aku dengan setiap desah do'a malammu. Bekali aku dengan cinta yang sejak dulu tak pernah pudar itu Bu. Bu, biar kutinggalkan sebuah pesan sebelum aku benar-benar berangkat dan menyisihkan tangisku: "Aku menyayangimu, Ibu"
/*Was Dedicated for My lovely Mom. My best angel, my best inspiration. Miss U Mom*/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H