Mohon tunggu...
dewi tri
dewi tri Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iklan Media Kampanye Ulung

13 Juni 2012   23:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13396521981431687892

[caption id="attachment_194545" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]

Televisi adalah media yang mampu memanjakan mata kita. Pasalnya, televisi adalah media yang menyediakan audio berikut dengan visualnya juga. Selain itu, khalayak juga dimanjakan dengan keberadaan televisi yang bisa ditaruh di berbagai sudut rumah kita, termasuk di kamar. Tidak heran, jika sebagian orang berkata bahwa televisi adalah media yang tidak sopan. Tetapi hal itu justru merupakan nilai plus bagi televisi, karena dalam kondisi lelah pun kita dapat menarik pesan dari informasi yang disajikan televisi. Dengan demikian, khalayak lebih mudah memahami isi pesan dari informasi yang disajikan di televisi.

Melalui segala kelebihan yang ditawarkan, menjadikan televisi banyak diminati oleh berbagai kalangan untuk mengiklankan produk, jasa, bahkan diri seseorang (kampanye). Di sini yang akan penulis bahas lebih jauh adalah mengenai keefektifan televisi dalam mengkampanyekan seorang calon kepala daerah, dan presiden. Dengan fasilitas audio-visual, televisi mampu merepresentasikan segala objek menjadi terlihat istimewa. Seperti halnya ketika seorang calon kepala daerah atau presiden muncul secara intens di televisi dengan berbagai sisi baiknya, pasti orang, khususnya orang awam akan memandang bahwa orang tersebut adalah orang yang cerdas. Padahal, bila orang tersebut jauh kita telusuri lebih dalam belum tentu sebaik yang ditampilkan di luar. Hal tersebut juga merupakan suatu cara untuk menggaet lebih banyak suara.

Salah satu tokoh yang berhasil membentuk citra positif di media massa, khususnya televisi adalah Presiden RI saat ini, SBY. SBY-Boediono berhasil menarik minat masyarakat untuk memberikan suara kepada beliau melalui iklan politik yang beliau buat. Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat dinamika demokratisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Soeharto. Dewasa ini komunikasi politik yang lebih bersifat massal dianggap penting oleh berbagai partai dalam rangka memobilisasi dukungan masyarakat.

Melalui iklan yang di buat dalam rangka mengumpulkan suara, SBY-Boediono membuat profil singkat mereka yang dimulai dari asal – usul mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Namun, karena dedikasi serta kecerdasan mereka, maka mereka berdua digambarkan menjadi sosok ideal yang pantas dijadikan pemimpin bangsa. Apalagi jika kita melihat sosok SBY yang tinggi dan kekar, menambah jiwa kewibawaan pada diri beliau. Ketegasan pun terpancar dari jabatan beliau di ranah kemiliteran sebelum beliau beralih terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sepak terjang SBY memang tidak perlu diragukan lagi. Namun apakah hal tersebut menjadi jaminan bahwa beliau akan berhasil memerintah negeri ini? Tentu jawabannya akan kita peroleh dengan menilik seperti apa keadaan negeri kita saat ini.

Tanpa kita pungkiri melalui iklan yang hanya memiliki frekuensi durasi menit, sudah mampu mengubah persepsi seseorang mengenai suatu objek. Kasus iklan kampanye politik SBY-Boediono bila kita kaji berdasarkan teori, kasus tersebut relevan dengan pendekatan semiotik Roland Barthes. Berdasarkan pendekatan semiotik dalam sebuah iklan pada hakikatnya memiliki simbol – simbol atau makna – makna yang mampu merepresentasikan sebuah objek.

Pada iklan kampanye politik SBY-boediono unsur yang dikedepankan di sini adalah unsur konotasi. Unsur konotasi biasanya dipakai untuk menunjuk pada asosiasi – asosiasi sosio-kultural dan personal (ideologi, emosi, dan sebagainya) dari tanda. Menurut Pilliang, “makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai – nilai kebudayaan dan ideologi”. Profil SBY-Boedino yang menampilkan profil latar belakang mereka, terdapat unsur – unsur yang menimbulkan perasaan emosional pada diri pemirsanya. Secara tidak langsung masyarakat akan merasa terenyuh jika melihat sosok SBY-Boediono pada masa kanak – kanaknya. Ternyata, tidak semua orang besar berasal dari keluarga mewah.

Dari iklan kampanye yang dilakukan oleh para calon kandidat pemimpin sudah barang pasti akan membawa keuntungan para awak media. Sehingga tanpa pikir panjang media akan menampilkan iklan kampanye tersebut tanpa memikirkan apa yang disajikan merupakan hal yang fakta atau fiktif. Seperti yang kita ketahui dalam pembentukkan citra seseorang tidak selalu berdasarkan realita yang ada. Terkadang ada kalanya disisipkan hal – hal yang berlebihan, sehingga menimbulkan hal – hal yang tidak sinkron dengan realita. Namun, dari situlah media mampu meraup untung banyak. Karena bayaran yang diperoleh dari media biasanya cukup tinggi. Terkadang ada juga media (media cetak atau elektronik) yang pendapatan utamanya diperoleh dari iklan. Apalagi, jika kandidat yang berhasil dikampanyekan mampu mendapatkan apa yang menjadi cita – citanya.

Alasan kampanye manggunakan iklan dirasa efektif oleh sebagian kandidat calon pemimpin adalah waktu penayangan iklan (prime time). Prime time adalah merupakan waktu yang strategis untuk menonton televisi bagi sebagian besar orang. Biaya yang dibutuhkan untuk memasang iklan di waktu tersebut pun relatif tinggi. Selain itu, ideologi kapitalis yang mengalir di media Indonesia semakin derassaja dari wwaktu ke waktu. Tentu hal tersebut menjadi kesempatan emas bagi para elite politik untuk mempublikasikan dirinya sebaik mungkin. Bukan perkara yang mengherankan jika kita melihat sosok SBY berbeda dengan ketika masa kampanyenya dulu. Seruan anti korupsi yang selalu beliau gadang – gadangkan kini hanya kicauan belaka. Sosok tegas yang terlihat dari cara berpidatonya, kini berubah menjadi sosok yang ragu – ragu dan cenderung lamban dalam menyikapi sesuatu hal. Justru lama – kelamaan bila kita tinjau lebih jauh gaya memimpinnya beliau tidak lagi demokratis, tetapi cenderung laise faire.

Jadi, sebaiknya untuk para khalayak harus lebih hati – hati dalam mengambil kesimpulan dalam sebuah iklan kampanye politik. Tanpa kita sadari kita akan terjerumus dalam masalah besar, jika kita melihat calon pemimpin kita hanya berdasarkan iklan saja. Jangan sampai hal yang tidak inginkan terjadi. Perlu kita ketahui iklan dapat kita katakana sabagai komunikator politik ulung atau kelas kakap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun