Ada fenomena unik di Indonesia setiap akhir tahun, menjelang pergantian tahunnya, media sosial khususnya mereka yg menganut agama islam akan dipenuhi posting mengenai Fatwa haram merayakan Tahun Baru Masehi, bahkan tidak sedikit hal itu pun diserukan oleh para "ustad" pada kesempatan khotbah jumatnya.
Mereka dengan lantang menyerukan bahwa "Tuhan melarang perayaan Tahun baru masehi" dengan bersandar pada Fatwa sebagian ulama yang menafsirkan seruan Junjungannya bahwa hal itu termasuk "meniru" budaya kaum atau umat agama lain (yang penulis juga tidak tahu siapa ulama yg pertama kali menfatwakan keharaman merayakan Tahun Baru Masehi).
Hal ini membuat saya tergelitik, sebenarnya apakah yang mereka pahami mengenai apa itu Fatwa, bagaimana kedudukannya, apa yang harus kita lakukan terhadap suatu Fatwa ?, kenapa mereka begitu lantang berpendapat bahwa Fatwa tersebut adalah "seruan Tuhan".
Apakah sebenarnya mereka paham atau tidak bahwa Fatwa itu tetap saja diserukan oleh seorang manusia biasa, walaupun anggap saja seseorang itu adalah seorang yang telah memenuhi persyaratan keilmuan untuk berfatwa, tetapi tetap saja itu keluar dari seruan seorang manusia, dan bukan seruan Tuhan. Dia (orang yang berfatwa) dengan segala keilmuan dan penelitian yang dia punya mengira-ngira bahwa kemungkinan Tuhan itu bermaksud seperti yang dia fatwakan, dan setiap orang tidak diwajibkan untuk mengikuti atau menolak fatwa dari orang yang berfatwa tersebut, karena hanya Tuhan yang mempunyai Hak untuk mewajibkan dan melarang sesuatu.
Lalu bagaimana seharusnya menanggapi seruan atau Fatwa larangan perayaan Tahun baru tersebut ?, saya hanya hendak menggelitik mereka yang berkeyakinan bahwa Fatwa itu tidak bisa dikritisi karena itu adalah "seruan Tuhan", silahkan berkeyakinan untuk mengikuti suatu Fatwa, tetapi jangan menuding dan menunjuk orang-orang yang tidak mengikuti Fatwa sebagai "pendosa" yang melanggar seruan Tuhan, fatwa tetaplah fatwa, diserukan oleh manusia biasa, bukan nabi.
Isi fatwa pun sebenarnya bisa  dikritisi lebih dalam, dan ini tidak dilakukan mereka karena anggapan bahwa fatwa itu "seruan Tuhan" yang tidak bisa dikritisi, mengkritisi berarti melawan Tuhan.
"Dilarang merayakan Tahun Baru Masehi karena itu termasuk meniru budaya kaum romawi dalam menyembah salah satu Dewa".
Mari saya kritisi isi fatwanya dengan adil,
Sebenarnya sang pemberi fatwa itu melarang "PERAYAAN", "MENIRU BUDAYA" atau "MASEHI" nya ?
Seandainya "Perayaan" nya yg dilarang, perayaan seperti apa yang dilarang, apakah semua bentuk perayaan dalam pergantian Tahun Masehi tersebut juga dilarang walaupun diisi dengan berlibur bersama keluarga, atau yang lebih ekstrim dirayakan dengan berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kemudahan dalam menggapai cita-cita pada Tahun berikutnya ?
Seandainya "Meniru Budaya" nya yang dilarang, meniru budaya seperti apa yang dilarang, apakah semua bentuk "meniru budaya" tersebut dilarang walau sudah berbeda bentuk dan niat ?, seandainya seperti itu maka ruang kosong di mesjid-mesjid yang sebenarnya adalah "meniru budaya" kaum pengikut agama Kapitayan sebagai simbol Tuhan mereka yang Maha Kosong, Maha tidak Terjangkau pun harus direnovasi.