Mohon tunggu...
Dewa Permana
Dewa Permana Mohon Tunggu... -

Lulusan Teknik Mesin, Mantan Penyiar Radio, Seorang Purchasing Automotif, Bercita-Cita Menjadi presenter/MC profesional.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Living Sacrifice (Dato' Sri Prof. DR. Tahir)

17 Juli 2016   12:01 Diperbarui: 17 Juli 2016   12:32 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahir, siapa yang tidak mengenal dia. Salah satu jajaran manusia terkaya di Indonesia saat ini dan bahkan majalah Forbes Indonesia mentahbiskan Tahir sebagai orang terkaya no 11 di Indonesia tahun 2015. Saya sendiri baru mengenal atau lebih tepatnya tahu dan “ngeh” sosok beliau saat beliau di-interview oleh Desi Anwar di Metro TV terkait dengan sumbangannya bernilai fantastis melalui yayasan yang dikelola oleh Bill Gates dan istrinya Miranda Gates.

Di pertengahan Juni (2016) kemarin, saya sedang di Gramedia dan menemukan buku biografi Dato’ Sri Prof. DR. Tahir berjudul LIVING SACRIFICE yang ditulis oleh Alberthiene Endah. Tanpa ragu saya memasukkan ke tas belanjaan. Sekedar informasi bahwa ini pertama kali saya membaca tulisan Alberthiene Endah dan saya cukup menikmati gaya penulisannya. 

Buku ini tidak ubahnya biografi orang kaya Indonesia lainnya seperti Chairul Tanjung; anak Singkong, Mochtar Riady; Manusia Ide (akan saya review setelah ini) yang ceritanya diawali oleh kesusahan hidup dan selanjutnya melalui perjuangan dan jatuh bangun akhirnya bisa menuai kesuksesan seperti saat ini. 

Secara lebih terperinci, buku ini menceritakan dari mana asal-usul keluarga Tahir dan alasan ayah nya pindah dari Tiongkok ke Indonesia (ini menjawab pertanyaan saya mengapa banyak saudara-saudara Chinese datang, tinggal dan akhirnya menjadi WNI). Pertemuan ayah dan Ibu nya pun menjadi bagian apik yang diceritakan melalui buku ini, termasuk perjodohannya dengan anak konglomerat Mochtar Riady yang membuat kisah cinta ini bak film India dimana cinta terjalin antara si kaya raya dan si miskin (walaupun saya menilai tahir tidak bisa dikatakan sangat miskin pada saat pertemuannya dengan anak Mochtar Riady, namun jurang harta sangat terasa di antara keduanya). 

Melalui buku ini, Tahir juga membagikan cerita hidupnya menjadi menantu konglomerat Mochtar Riady; bagaimana hubungannya dengan Mochtar Riady beserta anak dan menantunya; dan yang paling penting dari buku ini adalah sebuah penegasan bahwa kesuksesan Tahir tidak bisa dikaitkan dengan bayang-bayang Mochtar Riady. Tentu ada kemudahan yang Tahir dapatkan dengan menyandang menantu Mochtar Riady namun kesuksesannya adalah pencapainnya sendiri berkat kerja keras dan tanpa sokongan modal dari mertua nya secara cuma-cuma. Ini menjadi sangat penting karena secara jelas Tahir ingin meluruskan kesalahpahaman dan prasangka umum yang seolah-olah adalah sebuah kebenaran, namun sejatinya adalah tidak benar.

Buku ini tidak sekedar biografi, namun juga ajaran akan sebuah  nilai-nilai kehidupan. Bila Anda membaca keseluruhan buku ini, tidak sulit bagi Anda menemukan kalimat-kalimat ber nas yang menjadi teladan hidup dan buah pikiran Tahir. Sebut saja Pride dan dignity (kehormatan dan harga diri) menjadi prinsip hidup Tahir dalam menjalankan bisnis. Tahir juga ber-prinsip bahwa sebagai manusia kita perlu membangun kekuatan diri dan tidak bergantung pada orang lain. Karena sesuatu yang dibangun dari dalam dari, nobody can take it away. Ada lagi sebuah momen dimana Ibu tahir sedang menasihatinya, “kehormatan itu tidak bisa datang karena rasa kasihan . Kehormatan datang karena seseorang mau bekerja keras dan memantapkan hidupnya. Ingat selalu itu. Jangan bercita-cita dikasihani orang.” Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ber nas yang lebih seru bila anda membaca sendiri dan merasakan hati anda bergetar dan tergerak untuk tidak berlama-lama dalam situasi nina bobok yang manis. 

Philanthropy, menjadi pilihan hidup seorang Tahir saat ini. Melalui Tahir foundation dan bekerja sama dengan Bill Gates foundation adalah sebuah bukti nyata bahwa menjadi kaya tidak berarti jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Justru dengan menjadi kaya, kita bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun