Mohon tunggu...
Dewa Permana
Dewa Permana Mohon Tunggu... -

Lulusan Teknik Mesin, Mantan Penyiar Radio, Seorang Purchasing Automotif, Bercita-Cita Menjadi presenter/MC profesional.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Welcome to India (Part 1)

14 Mei 2017   15:22 Diperbarui: 14 Mei 2017   20:14 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Februari 2015, waktu itu saya sedang berkunjung ke rumah salah satu teman dekat saya di Bandung. Agenda yang kami rencanakan sebenarnya beramai-ramai dengan beberapa teman lainnya, namun pada akhirnya kami harus jalan berdua karena beberapa lainnya harus mendadak masuk kerja karena suatu hal. Spontan tempat yang menjadi tujuan pertama adalah Mall. Karena tempat tinggal saya saat ini tidak cukup bisa mengakomodir keperluan saya akan hobi nongkrong (baca: ngopi sambil ngobrol) dan hunting buku. Begitu hausnya saya akan bacaan bernama buku (baca: karena biasanya hanya baca majalah), saya langsung membeli beberapa buku sekaligus. Benda yang paling menarik mata saya pada waktu itu adalah buku tulisan J.S. Khairen berjudul 30 Paspor di Kelas Sang Profesor.  Buku yang mengisahkan perjalan mahasiswa Universitas Indonesia dikala mengikuti kelas Rhenald Kasali dimana diharuskan mengunjungi (baca: berkelana) sebuah negara yang tidak berbahasa Indonesia atau Melayu. Saya kira itu adalah hal yang sangat menyenangkan, setidaknya bagi orang yang menyukai tantangan akan tempat dan lingkungan baru.

Seandainya saya adalah salah satu mahasiswa tersebut tentu saya akan sangat bersemangat dan memilih tujuan ke negara yang budayanya sangat jauh berbeda dengan Indonesia. Hal inilah yang pernah saya utarakan kepada atasan saya beberapa minggu sebelum saya menemukan buku ini bahwa saya minta agar dikirim (baca: business trip) ke negara yang penuh tantangan dan memerlukan daya survive yang tinggi, seperti Afrika (namun sebenarnya tempat saya bekerja tidak memiliki afiliasi di Afrika). Beberapa bulan setelah itu, saya mendapat informasi bahwa beberapa group kerja di tempat saya akan melakukan business trip ke India selama 1 minggu. Misi nya adalah mempelajari bagaimana part maker disana dalam mendapatkan cost yang competitive di Asia Oceania.

Sebenarnya part saya bukanlah target utama dari aktifitas ini dan tentu saya tidak diminta secara langsung harus ikut dalam business trip ini. Namun hingga suatu waktu saya mendapatkan titik terang bahwa saya bisa bergabung dalam kunjungan tersebut bila mendapatkan approval dari direktur saya. Akhirnya saya membuat report pendahuluan yang menjelaskan mengapa saya perlu untuk pergi ke India (baca: dinilai perlu untuk join). Dan akhirnya sayapun mendapatkan approval tersebut diwaktu yang sudah sangat sempit menjelang keberangkatan tim ini. Waktu yang tersisa kurang lebih satu minggu, saya harus “genba” ke supplier-supplier di Indonesia untuk mendapatkan data sebagai bahan perbandingan disana. Saya beserta tim lain juga harus ke kedutaan besar India untuk kepengurusan Visa. 

Misi saya ini sebenarnya tidak disangka oleh banyak orang, baik japanesse advisor saya, maupun japanese yang lain karena saya adalah satu-satunya tim yang anggotanya adalah saya seorang diri, sedangkan tim-tim lain beranggotakan seorang japanese dan satu orang lokal (baca: Indonesia). Bahkan beberapa orang Japanese bertanya kepada saya, apakah direktur-san mengizinkan saya untuk berangkat? apakah saya sudah booking hotel disana? (mengingat keputusan saya ke India hanya beberapa hari sebelum tim ini berangkat), bagaimana saya berkomunikasi disana?. Sejujurnya saya menilai bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah bentuk kekhawatiran seseorang kepada kawannya melainkan sebuah bentuk ketidakpercayaan seseorang akan kemampuan generasi muda. Dengan berbekalkan prinsip bahwa saya boleh tidak setuju akan pendapat orang tua namun menghormati orang yang lebih tua adalah sebuah keharusan, akhirnya saya menjelaskan dan meyakinkan bahwa saya akan bisa meng-handle semuanya disana. 

        Honestly, saya tidak merasa benar-benar siap untuk menjalankan misi ini. Seperti persiapan menghadapi Ujian Nasional, walaupun sudah belajar dengan berbagai macam cara namun tetap ada sebuah kekhawatiran yang sulit untuk dijelaskan dan membuat saya harus waspada akan setiap kemungkinan yang akan terjadi, terlebih dalam tim ini saya adalah seorang diri. Dalam waktu yang relative pendek, saya berkomunikasi dengan afiliasi di India untuk menyiapkan segala keperluan saya disana mulai dan hotel, transportasi baik mobil maupun pesawat, dan arrange schedule dengan dengan tempo yang sangat singkat. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun