Mohon tunggu...
dadan suwarna
dadan suwarna Mohon Tunggu... -

peminat masalah sosial dan budaya, sedang belajar jadi online publisher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Nyaris tak Terdengar", Negeriku Masa Silam

19 Mei 2011   02:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akankah kita menggelengkan kepala ketika ditanya Irfan Bachdim, "I am Indonesian, what about you?"

Tentu kita tercengang, gila banget, malu banget. Padahal, jari telunjuk kita biasanya menuding orang lain, dan tidak menempatkan diri sebagai prioritas penilaian. Bila segalanya dimulai pada kita dan bukan pada orang lain, betapa indahnya memelihara, memupuk, dan mengembangbiakkan kesadaran itu. Betapa indahnya bila kita berbuat, tidak sekadar mengkritik, tidak melakukan pemberdayaan diri.

Keindonesiaan adalah kepala dan hati, keindonesiaan adalah kesadaran membuka wawasan dan pengertiaan diri. Keindonesiaan adalah merefleksikan kecintaan pada substansi dan bahkan produksi sendiri. Kualitas? Okelah, tapi mari kita memberi dan mencari solusi paling mumpuni.

Baju kita, celana, jam tangan, pewangi, sepatu, semir sepatu, bahkan tissue mari kita kalkulasi produknya dari mana. Mari kita bergeser sedikit ke ponsel, kamera, fasilitas internet, modem, dan yang lainnya? Adakah keindonesiaan tumbuh dalam kepemilikan benda-benda yang kita punya?

Dapat dipastikan, kita menghadapi kendala dengan kecintaan dan kepribadian kita. Kita tidak pernah berbanggga sebagai anak bangsa. Kalau Indonesia tidak dianggap memberi sumbangsih kebanggaan, sudahkan kita membanggakan diri, memberi kebanggaan keindonesiaan kita? Biarkan sesuatu yang tidak membanggakan digerus alam. Elite politik hidup tanpa etika, media mengalami penyempitan informasi pada selebritas dan selebras, biarlah; biarlah hukum alam dan kompetisi kualitatif yang kelak menggantikan.

Kesadaran adalah proses, hasilnya adalah bukti hakiki. Selama ini, kesadaran mencintai aturan adalah kesadaran yang kompromistis, itulah kita. Sederhana, takut kepada apakah seseorang ketika ditilang? Kita takut pada polisi, bukan pada aturan. Kenyataan menyedihkan ini memaksa kita menghindari polisi dan bukan mengikuti aturan. Masalahnya, "takut" jugakah kita pada produk sendiri?

Mencintai adalah kesadaran, mencintai memang proses. Bahwa logo dan citra produk sendiri mempertaruhkan reputasi kita dan bangsa, adalah pilihan ideal kita, pilihan mencintai harus dilakukan dengan melihat, menimbang, dan menempatkan kesadaran bermartabat. Reputasi itu akan membangun makna referensial terhadap harga diri, terhadap martabat diri sendiri.

Seorang kawan membeli sepatu produk Italia di negara itu, betapa membanggakan negeri pizza itu ternyata, apa pun harus ia rogoh demi pencitraan meski di bagian alas kaki. Dalam suatu peristiwa, sepatunya basah, bobol di bagian tertentu. Ketika dijemur, di bagian dalam tertulis kata "Kenca" (Sunda: kiri), penasaran ia membuka lapis kulit di sepatu pasangannya, tertulislah "Katuhu" (Sunda: kanan). Tercengang, marah-marah, bahkan malu sendiri ketika mengetahui sepatu itu buatan anak negeri.

Bahkan kita akan mengembalikan TKI dan TKW bila mereka diberdayakan melalui kesadaran kita mencintai, memiliki, membeli jasa dan produk yang mereka kembangkan. Hanya sumbangsih kita yang membuat mereka hidup pada profesi dan pengembangan SDM berkesinambungan demi penghargaan akan martabat bersama kita juga.

Heroisme anak bangsa tidaklah pernah dapat disangsikan. Ini adalah modal penting bagi tumbuhnya kesadaran dan kepedulian akan keindonesiaan kita. Akan tetapi, keindonesiaan tidak pernah akan adanya artinya bila tidak dibangun dengan kemampuan kompetitif dan kualitati di segala elemen, termasuk kesadaran mengakui. Contoh sederhana, keindonesiaan akan nihil kualitasnya bila kualitas bernegara, berpemerintahan, dan berparlemen tak lebih dari ego personal, parpol, dan jabatan. Ini akan jadi musibah terus-menerus sebagai ajang politik kuasa balas dendam, yang berakibat pada konflik horizontal-sosial masyarakat ke segala penjuru.

Nasionalisme jangan hanya tumbuh di ajang konfrontasi atau kompetisi olahraga regional Asean, selebihnya kita EGP (emang gue pikirin). Ketika pertanyaan seseorang itu datang, tentu dengan bahasa gaul global, "I am Indonesian, What about You?" jangan sampai kita menggelengkan kepala karena gamang. Jiwa keindonesiaan kita bukanlah seseorang yang terperangkap di lautan, ke daratan susah, di lautan tak berdaya. Malah kita bisa jadi korban santapan hiu, paus, singa laut, serta hukum badai persaingan, mati segan tetapi hidup terbuncah dalam gelombang keputusasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun