Mohon tunggu...
dadan suwarna
dadan suwarna Mohon Tunggu... -

peminat masalah sosial dan budaya, sedang belajar jadi online publisher

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Berbahasa "Gaul" Indonesia

20 September 2012   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:09 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Inilah ekspresi sosial kebahasaan kita hari ini. Bahasa gaul adalah segala-galanya, hidup mati kebutuhan menyatakan diri. Pesan atau informasi yang disampaikan dianggap lebih penting dibandingkan dengan bahasanya itu sendiri. Akibatnya, berbahasa tidak dianggap berurusan dengan kata, bentuk kata, struktur kalimat, penalaran logis, melainkan semata-mata dilihat “nyambung” tidaknya obrolan.

Obrolan adalah konteks ketika sesesorang mementingkan dirinya sendiri, keinginan terdalam, dan hubungan personal di antara yang bicara, di samping tentu saja situasi sosial yang menyertainya. Keformalan dihindari semata-mata alasan bahwa hubungan antarmereka yang berbahasaadalah pemahaman “tahu sama tahu”.

Penyimpangan bentuk dan struktur bahasa akibatnya terjadi. Berbahasa Indonesia dengan logat daerah, sisipan Inggris berstruktur Indonesia, strutur Inggris dengan konsep Indonesia, dll. Inilah fakta sosial yang tengah menggejaa ihwal realitas komunikasi dalam masyarakat kita hari ini.

Berbahasa tumbuh dengan tanda-tanda tersendiri. Siapa kita, siapa kami, mana angka, mana huruf, dilebur sebagai satu kesatuan ucap. Karena mengutamakan kesepahaman maksud yang sama, idealitas kebahasaan adalah yang jauh dari jangkauan lidah, bahkan harapan ideal. Asumsi bahwa bahasa Inggris meminggirkan bahasa Indonesia, bahasa Indonesia meminggirkan bahasa daerah, bahasa kasar meminggirkan bahasa halus, ternyata dapat dibaca dalam perspeketif berbeda bergantung pada sudut pandang mana subjek, mana objek.

Bahwa pengaruh bahasa Inggris begitu kuat dan digdaya, sebenarnya, dapat juga berarti kuat dan digdayanya pengaruh bahasa Indonesia dan bahkan daerah dalam komunikasi apa pun ketika kita tengah menggunakan bahasa lain di luar kedua bahasa tersebut. Terbukti betapa interferensi dengan cara menyelipkan kata atau bahkan logat tertentu yang sepenuhnya tidak berurusan dengan bahasa yang dipakainya menegaskan betapa antarbahasa memiliki kecenderungan pemengaruhan ekspresi kebahasaan yang sama.

Keganjilan berbahasa hanya dijustifikasi dari adanya unsur kebahasaan secara terlihat, baik kemunculannya berupa kata atau bentuk kata yang asing ke dalam struktur kebahasaan yang lain. Kita tampaknya khilaf atau bahkan memaklumi bila kesalahan itu menyangkut persoalan struktur atau bahkan logika yang menyimpang.

Dalam segala tindak komunikasi, umumnya seseorang tidaklah berbahasa dalam tataran kesesuaian format yang “baik” dan “benar” selamanya. Apalagi pemanfaatan gejala campur dan alih kode adalah yang semakin memurukkan idealisme kebahasaan dalam segala bentuk, kecuali pemahaman analisis makro yang lain dan kasus sosiologi kebahasaan di baliknya.

“Lu” dan “gua” kemudian adalah cara dalam merepresentasi kedekatan dua hubungan. Ini adalah model penyampaian yang khas, unik, sama seperti mengapa seseorang merasa butuh menyatakan dirinya aku dibandingkan dengan saya. Bahwa berbahasa bukan sekadar menyangkut relasi linguistik tampak dari bagaimana kemudian kebutuhan mengekspresikan diri adalah yang tidak sepenuhnya baku dan kaku di segala situasi dan kondisi. Penjelasan akan maksud merepresentasikan diri sebagai “gua” semata-mata keintiman, keleluasaan, bahkan kenyamanan dibandingkan dengan ekspresi yang sinonim dengan maksud tersebut.

Ini sekaligus pemenuhan aspek lain bahwa secara sosiologis dan psikologis, dengan tujuan kepada siapa seseorang berbahasa, akan tetap membuatnya memperhatikan ruang lingkup dan bahkan suasana batin yang mengikat maksud penyampaian kebahasaan itu sendiri. Memang kemudian yang tercipa adalah informalitas atau nonformalitas sebagai realitas kebahasaan yang paling masyarakat butuhkan. Ini sekaligus menegaskan bahwa budaya tutur begitu kuat dan dominan dibandingkan dengan realitas berbahasa tulis dan serius.

Dapat dijelaskan lebih lanjut, berperannya bahasa gaul menjadi fenomena sosial kebahasaan tersendiri, tempat masyarakat menanggalkan dirinya dari perbedaan identitas dan suasana psikologis yang berjarak. Aspek ini sekaligus menggugurkan kenyataan purifikasi lingusitik di hadapan pada realitas lain yang dianggap lebih pragmatis, membumi atau kontekstual tadi. Akibat lain, bahasa adalah yang memiliki keragaman sedemikian rupa, baik menyangkut hubungannya dengan jenis kelamin, usia, bahkan ranah ilmu pengetahuan. Penjelasan akan ragam dan variasi bahasa dengan sendirinya akan menyangkut konteks sosial yang mengikat kebahasaan itu di mana dan sasarannya siapa. Dengan asumsi yang terpenting penyampaian tidak mengalami kesenjangan maksud, memberi alternatif kebahasaan lain, termasuk berbahasa gaul di dalamnya.

Ini sekaligus mempertegas bahwa masyarakat kita adalah masyarakat tutur, masyarakat yang tetap menganggap kepentingan melisankan sesuatu lebih penting dibandingkan dengan menuliskan. Bahkan dalam konsep masyarakat tutur, penyampaiannya bukanlah persoalan tema pembicaraan yang berkerut kening, tetapi yang semata-mata santai dan berterima secara sosial.

Dapat kemudian diindikasikan, bila konteks pembicaraan itu berubah secara formal dari informal, bahkan menyangkut argumentasi maksud, bahasa akan mengalami perubahan yang signifikan, tidak pada konsep gaul dan informal, melainkan mengembalikan kithah-nya pada kebahasaan yang baik dan benar. Tidak terkecuali apakah seseorang itu tengah menyampaikan maksudnya dalam bahasa Inggris, Indonesia, maupun daerah, kemungkinan terjadinya standardisasi berbahasa akan sedemikian tercipta. Tentu, kalaupun penyimpangan itu terjadi, penyimpangan hanya akan berupa sisipan kosakata tertentu sebagai gejala interferensi kebahasan yang mengaitkannya.

Ekspresi gaul kebahasaan hanya mungkin diminimalisasi pemakaiannya bila setiap orang berada tidak dalam satu komunikasi tutur yang peyoratif. Berpikir atau menyampaikan pendapat, adalah cara yang memberi ruang ekspresi optimal bagi dihindarinya kebahasaan yang tidak memiliki kepentingan yang ideal, apalagi ketika berkomunikasi diikat dalam ruang formal yang sama, berbahasa sesuai harapan dan bahkan kebutuhan, akan muncul bersamaan.

Tradisi berpikir bukan hanya akan memberi kemampuan bagaimana berbahasa diekspresikan, tetapi juga adalah yang memberi pengelolaan kita pada substansi yang tengah kita sampaikan. Dengan demikian, tradisi berpikir yang baik adalah dua rengkuhan sekaligus: berbahasa satu adalah bahasa Indonesia, berbahasa satu adalah juga mengelola kemampuan dan intelektualitas seseorang pada ragam topik yang tengah diperbincangkannya.

Tradisi berpikir adalah cara bagaimana kemudian mengalihkan ragam bahasa gaul menjadi bahasa formal. Tentu sosialisasi berkesinambungan serta keinginan belajar, yang bukan melulu berbahasa saja, akan membawa masyarakat  pada tercerahkannya harapan yang bersama kita idealkan. (Dadan Suwarna)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun