Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan bela sungkawa dan keprihatinan yang mendalam untuk para korban dan mereka yang terdampak banjir di awal tahun 2020 ini.
Saya berdoa semoga mereka yang meninggalkan kita diterima amal ibadahnya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini.
Hari Pertama, 1 Januari 2020
Hujan yang mengguyur Jakarta pada malam pergantian tahun justru melenakan saya dalam tidur. Baru pukul enam pagi ketika saya membuka mata. Tik tok bunyi hujan dan derapnya ketika menyentuh beton masih juga terdengar. Penasaran, saya pun membuka sedikit tirai di jendela kamar.
Di luar, saya lihat air sudah menggenangi jalan depan rumah.
Kemudian, saya pun keluar untuk memastikan. Benar saja, air sudah hampir menyentuh dasar pintu gerbang. Artinya sudah lebih dari 50 cm jika dihitung dari ketinggian jalan.
Siang itu, tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali terus memantau kondisi melalui telepon genggam sambil memainkan gim Ages of Empires untuk mengusir bosan.
Tak lupa, sebentar-sebentar saya menengok keluar, ke garasi yang berada di belakang gerbang. Di sana, saya melihat air merambat naik, tidak terlalu cepat, tetapi saya tahu pasti dari jarak batas air yang makin dekat ke pintu.
Rumah-rumah tetangga di seberang yang berada di bawah jalan sudah terendam. Perasaan saya campur aduk saat melihat Papanya Aldo, si pemilik rumah yang mulai mengeluarkan kasur pegas yang kini kondisinya sudah terpisah antara rangka berupa jejaring pegas dan busanya. Dua barang yang tadinya satu itu kini teronggok begitu saja di pagar.
Pak Rudy yang rumahnya berada persis di depan rumah kami masih tenang, tetapi sudah mulai melakukan berbagai persiapan untuk mencoba menghalangi air masuk ke dalam rumah. Namun, di siang hari, pembatas sederhana itu tak mampu menahan. Air pun masuk ke dalam rumah.
Saya masih tenang, karena air masuk ke dalam garasi, sekitar satu meter dari pagar.