Hari Pahlawan 10 November 2013, bertempat di Taman Bungkul, Surabaya, Wali Kota Surabaya, Sri Rismaharani, memekikkan tekad berbalut sumpah bahwa di tahun 2014 Kota Surabaya harus bebas dari pelacur dan praktek pelacuran.
Sumpah Ibu Risma bukan sekedar di bibir. Selain tiga lokalisasi di wilayah Surabaya berhasil ditutup, Risma juga berencana menutup lokalisasi Dolly, yang konon terbesar di Asia Tenggara. Sontak tekad Risma untuk menutup Dolly mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, terutama agamawan.
Nun jauh sekitar 700-an KM ke arah Barat Surabaya, seorang pria berkacamata yang menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta mempunyai usul yang berbanding terbalik dengan Risma. Pria itu bernama Basuki Tjahya Purnama dan ia berencana untuk membangun lokalisasi bagi para PSK. Sebaliknya Risma, Ahok harus mendapatkan "hujan" kontra, meskipun baru sebatas wacana.
Saya mencatat wacana lokalisasi PSK di wilayah Jakarta bukan pertama kalinya terjadi. Bahkan pada era Gubernur Ali Sadikin persoalan lokalisasi bukan lagi sebatas wacana tetapi terwujud melalui komplek lokalisasi Kramat Tunggak, yang belakangan ditutup oleh mantan Gubernur Sutiyoso dan dialih fungsikan menjadi pusat dakwah.
Sejarawan Dr Asvi Warman Adam dengan baik "merekam" peristiwa itu. Syahdan bermula dari keprihatinan Bang Ali takkala melihat praktek prostitusi yang kian liar tak terkendali hingga "blusukan" ke pemukiman warga, Bang Ali akhirnya memutuskan untuk melokalisasi para PSK di satu tempat. Walau usulannya mendapat tentangan dari berbagai lapisan masyarakat, Bang Ali tetap kukuh pada putusannya. Walhasil, Kramat Tunggak pernah mencatat sejarah sebagai komplek lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Suka atau tidak, melahirkan solusi tunggal bagi prostitusi bak buah simalakama. Cukup rumit dan pelik. Wajar, menimbang bicara prostitusi bukan semata soal agama dan moral, tetapi juga berkaitan dengan persoalan sosial, budaya yang sangat kompleks. Umat beragama bagai dihadapkan pada dua sisi mata uang; antara ajaran agama yang jelas melarang prostitusi dan fenomena prostitusi yang secara faktual terhampar di masyarakat yang kian liar.
Perdebatan sengit tidak ada habisnya ketika bicara soal salah satu dosa tertua umat manusia ini. Sebagian kalangan menyatakan bahwa -secara sosiologis - pilihan yang strategis adalah lokalisasi. Di seberang pihak keberatan, terutama kalangan agamawan, yang menolak lokalisasi dan menganggap hal itu sebagai pembenaran sekaligus legalisasi terhadap prostitusi.
Sialnya soal prostitusi lebih pelik ketimbang perjudian. Untuk judi, misalnya, kita bisa meniru cara dua negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura, yang memilih untuk melokalisasinya. Sedangkan untuk prostitusi lebih pelik, mengingat persebarannya yang lebih luas dan memungkinkan antar dua individu belaka.
Di sinilah kalangan agamawan harus berhenti sejenak. Memikirkan untuk mencari solusi atas masalah prostitusi. Tidak cukup "khutbah" di rumah ibadah mengenai moral yang bobrok. Penyebaran penyakit kelamin, liarnya praktek prostitusi dan pungli-pungli gelap adalah kondisi "real" dan faktual yang harus segera dicarikan solusinya. Tentu saja bukan kalangan agamawan semata, tetapi jua harus melibatkan para ahli dari sosiolog dan sebagaainya.
Andaikata kita memilih untuk melokalisasinya, maka sederet pertanyaan susulan telah menanti. Di manakah lokasi untuk melokalisasi para PSK? Haruskah di tempat yang sulit dijangkau atau justru di tengah-tengah masyarakat?
Kemudian, sejauh mana dampak positif dari lokalisasi tersebut? Ini harus diperhitungkan dengan cermat, agar alih-alih positif, lokalisasi justru makin menguatkan arus negatif? Lalu, bagaimana dengan prostitusi kelas atas yang justru jarang tersentuh oleh tangan aparat?