Medio 2011, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, berteriak lantang agar pemerintah, dalam hal ini Menkominfo, segera menutup situs-situs extrimis berbalut baju agama di dunia maya. Menurut Kang Said, keberadaan situs-situs extrimis di dunia maya memberi inspirasi bagi para mujahilin untuk menebar teror di bumi NKRI.
Saran dari Kang Said ini segera mendapat tentangan. Tak kurang pula pernyataannya dipelintir sedemikian rupa. Ucapan Beliau yang menyamakan bahaya dampak situs extrimis dengan video porno disalahartikan sebagai hukum halal menonton video porno. Di Kompasiana sendiri pernah terjadi polemik terkait pernyataan tersebut antara saya dan Kompasianer Adi Supriadi cs.
Pada tahun 2013 usulan yang sama datang dari anggota DPR, Eva Kusuma Sundari. Ia mendesak Menkominfo agar segera memblokir situs-situs extrimisme di dunia maya. Pernyataan Eva ini disampaikan pasca peristiwa bom rakitan di Polsek Rajapolah pada Juli 2013.
Kini, pasca baku tembak antara Densus 88 dan para mujahilin, usulan yang sama perlu untuk didengungkan kembali yaitu mendesak Menkominfo agar segera memblokir situs-situs extrimisme di dunia maya. Menimbang salah satu terduga teroris, Nurul Haq alias Dirman, diketahui akan berangkat "jihad" ke Suriah.
Saya menduga kuat bahwa Nurul Haq mendapatkan inspirasi liarnya itu pasca membaca situs-situs extrimis yang berbalut baju agama. Selama konflik Suriah, situs-situs tersebut memang masif menayangkan konten berita yang sarat dengan provokasi dan penggiringan opini publik, bahwa yang terjadi di Suriah adalah konflik sektarian antara Sunni-Syiah dan bukan konflik politik semata.
Kabar perseteruan Suriah, pada situs-situs itu, diuleni dengan fatwa-fatwa mengenai sesatnya Syiah. Darah anak muda layaknya Nurul Haq bertemu dengan panasnya hidangan provokasi dari situs-situs tersebut telah membuatnya mencucikan nalar, meliburkan logika. Walhasil, ia nekat untuk "jihad" ke Suriah.
Coba anda simak berita-berita yang ada pada situs-situs tersebut. Misalnya, pada berita perihal penggerebekan teroris pada malam tahun baru 2014. Alih-alih menggunakan kata "teroris", situs-situs itu lebih memilih kata "mujahidin", yang memberi anggapan bahwa para pelaku teror itu adalah seorang pelaku jihad, dan bukan seorang pelaku teror yang sangat dikutuk oleh agama manapun jua di muka bumi.
Walhasil, menimbang bahwa media turut mempengaruhi pola pikir seseorang, maka usulan agar situs-situs bermuatan extrimis segera ditutup patut untuk dipertimbangkan dan didengungkan kembali. Tujuannya, agar tidak ada lagi anak muda yang berdarah panas "dikompori" oleh provokasi murahan ala situs-situs tersebut. Selama situs-situs tersebut masih ada, dan kerap menjadi rujukan, maka selama itu pula para mujahilin terbakar darahnya untuk menebar teror.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H