Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Natal, Maulid dan Salafisme

16 Desember 2014   04:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:14 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Bolehkah muslim mengucapkan Selamat Natal kepada saudara Kristianinya?" Pertanyaan tersebut niscaya selalu terlontar di setiap Natal menjelang. Ragam jawabannya pun selalu "terhidang", berikut dengan argumennya yang klise dan tak jua berubah dari zaman ke zaman.

Sejatinya, sepengetahuan penulis, tak ada satu pun fatwa yang melarang untuk mengucapkan Selamat Natal, terlebih mengharamkannya. Bahkan MUI sekalipun, yang dipercaya oleh muslim Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi keagamaan Islam (padahal tidak demikian), tidak pernah mengeluarkan fatwa akan keharaman mengucapkan Selamat Natal. Kalaupun fatwa MUI pada tahun 1981, maka menyangkut fatwa menghadiri perayaan Natal dan bukan mengucapkan Selamat.

Entah darimana gencarnya fatwa haram tersebut, namun saya menduga erat kaitannya dengan merebaknya ajaran Salafisme belakangan di ranah negeri ini. Rujukan saya ialah pendapat "guru besar" mereka, Ibn Taimiyyah, yang menafsirkan petikan ayat dari QS: Az-Zumar:37 (Wa La Yardha li I'badihi al-Kufr) dengan "Ar-Ridha bil Kufri Kufrun" (Ridha dengan kekufuran adalah kufur). Dari sinilah para ulama pengusung ajaran Salafi -atau lebih tepatnya Wahabi- kemudian menyandarkan argumennya secara turun-temurun yang mengharamkan pengucapan Selamat Natal.

Namun fatwa dari pengusung ajaran Ibn Abdil Wahab ini sangat bertolak belakang dengan fatwa ulama Islam lainnya yang mayoritasnya memperbolehkan pengucapan Selamat Natal. Bahkan lebih jauhnya bertolak belakang dengan semangat ajaran Islam itu sendiri yang memperkenalkan dirinya sebagai "rahmat bagi semesta alam".

Fatwa haram Selamat Natal dari ulama Wahabi ini mudah dipahami bila kita mencermati "politik identitas" yang konservatif yang selama ini dikembangkan oleh paham itu. Dengan "politik identitas" tersebut, maka jurang perbedaan harus semakin dipertegas antara "minna" dan "minhum" (golongan kita dengan golongan mereka). Titik temu jarang diupayakan takkala mengjadapi perbedaan. "Politik identitas" telah mengantarkan mayoritas pengikut paham Wahabi memandang dunia global dengan dua warna belaka, hitam dan putih.

Mirisnya, "politik identitas" ini tidak hanya berlaku terhadap agama non Islam, tetapi jua terhadap sesama muslim. Maulid misalnya, mereka hukumi dengan bid'ah yang pelakunya diancam oleh siksa ketimbang pahala. Jika terhadap perayaan kelahiran Nabi Muhammad pun mereka telah menghukumi bid'ah, lalu bagaimana terhadap perayaan kelahiran Nabi lainnya?

Kebetulan pula pada tahun ini Natal dirayakan bersamaan dengan masuknya bulan Maulid. Kelahiran dua Nabi besar dalam sejarah umat manusia sama-sama dirayakan pada bulan yang sama. Saatnya kini bagi kedua umat pengikut kedua Nabi Mulai itu untuk menyingkirkan segala "politik identitas". Mencari titik temu di tengah-tengah perbedaan yang sukar untuk disatukan.

Bukankah Nabi diutus sebagai "rahmat bagi semesta", sebagaimana Yesus dilahirkan untuk menebarkan kasih? Rahmat dan kasih inilah yang seharusnya menjadi titik temu bagi pemeluk Islam dan segenap umat Kristiani.

Selamat Natal dan Maulid Nabi Saww.

Gitu aja koq repot!

Selamat menikmati pentungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun