Bagi sebagian muslim, fatwa adalah agama. Karenanya mereka sangat patuh terhadap fatwa. Menegakkan fatwa, bagi mereka sama dengan menegakkan agama. Melanggar fatwa sama artinya dengan telah melanggar agama.
Bagi saya, fatwa itu tidak sama dengan agama. Saya sependapat dengan Cak Nun, yang menyatakan bahwa fatwa itu sekian langkah dari agama. Sehingga jangan heran, jika untuk satu masalah yang sama bisa lahir jutaan fatwa. Bukan sesuatu yang terlarang, sepanjang individu yang mengeluarkan fatwa itu memenuhi syarat keilmuan dan metodologi untuk "memproduksi" fatwa.
Jangan fatwa, syariat Islam dan fikih Islam pun tidak sama dan sebangun dengan Islam. Islam sebagai agama adalah "karya" Allah. Sedangkan syariat dan fikih Islam adalah hasil penafsiran para ulama. Karenanya ada banyak mazhab fikih, namun hanya satu agama, yakni Islam.
Sebagai misal, fatwa terhadap "sesuatu itu haram", maka bukan berarti sesuatu itu haram menurut agama. Fatwa ulama terhadap sesuatu itu sesat, maka bukan berarti agama pun mempunyai pandangan yang sama bahwa sesuatu itu pasti sesat.
Fatwa juga bukan firman Tuhan. Jika sesuatu itu diharamkan atau dilarang berdasarkan firmannya, maka anda harus manut; "take it or leave it". Tidak ada celah untuk berbeda. Sebaliknya, karena fatwa itu bukan firman Tuhan, maka anda diperkenankan untuk sama atau bahkan berbeda.
Berangkat dari pemikiran sederhana ini, maka saya tidak langsung manut terhadap satu fatwa. Selain saya termasuk orang yang tak mudah percaya, saya juga akan menelaah ulang, mencerna kembali, mempertimbangkan, juga meneliti latar belakang sang pengujar fatwa termasuk alasan dan konteks fatwa itu dikeluarkan.
Sebab demikian maka saya tak langsung manut terhadap fatwa haram memilih Jokowi yang dikeluarkan oleh Forum Umat Islam Indonesia (FUUI). Seperti dikabarkan, FUUI pada 30 Juni 2014 mengeluarkan maklumat yang isinya mengharamkan umat memilih Jokowi pada saat Pilpres 2014.
Saya tersenyum membaca fatwa tersebut. Sebab implikasi dari fatwa haram itu ialah umat akan berdosa dan masuk neraka jika memilih Jokowi dan mendapat pahala berikut surga jika meninggalkan memilih Jokowi.
Senyum saya makin lebar ketika mendapati fatwa itu sama sekali tidak memberikan solusi yang berdampak maslahat bagi umat. Sepanjang pengetahuan saya, sebuah fatwa haruslah memberikan solusi dan berdampak positif bagi bangsa, negara dan agama. Fatwa itu sama sekali tidak memberikan pilihan yang harus dipilih umat; apakah harus golput atau wajib memilih Prabowo sebagai lawan politik Jokowi.
Lucunya lagi, fatwa itu tidak membahas hukum menyelenggarakan pemilu. Hemat saya, karena fatwa haram itu erat kaitannya dengan Pilpres, maka seharusnya FUUI terlebih dahulu mengeluarkan fatwa terhadap penyelenggaraan Pilpres. Apakah menyelenggarakan Pilpres ini termasuk wajib, sunnah atau mubah?
Apalagi jika kita mencermati konteks dikeluarkan fatwa tersebut yang berdekatan dengan momentum Pilpres. Wajar bila ada yang menganggap bahwa fatwa itu adalah fatwa pesanan. Bukankah fatwa-fatwa semacam itu marak bertebaran di setiap momentum politik?